Tampilkan postingan dengan label Kebangsaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebangsaan. Tampilkan semua postingan
Fotofrafer: Imam Husein/ Jawa Pos
IPNU Trenggalek - Viralnya Pidato Jendral Anton Charliyan (Kapolda Jabar, yg sebenarnya sudah lama) dan Jendral Tito Karnavian yang bertanggung jawab penuh terhadap Kamtibmas NKRI yang kontroversial, bahkan banyak tulisan berseliweran meng-kuliahi dan membully- itu bagi saya sangatlah cerdas: 
  1. Dengan hanya menyebut satu dua Ormas yg ia nilai cinta NKRI, tentu ormas lain yg tidak cinta NKRI akan pura-pura berkata cinta. Apalagi yang memang cinta, tentu mereka tersinggung. Nah, disinilah kedepan Polri akan mudah untuk menagih pengakuan, ketika mereka bertindak kontra dg pernyataannya. Mana janjimu?
  2. Dalam sisi kesejarahan sang Jendral juga hanya menyebut satu dua Ormas yg benar-benar berkontribusi terhadap perjuangan Bangsa. Nah, ormas yg merasa dinafikan pasti akan teriak-teriak dan membuka sejarah tokoh pendiri dan pendahulunya. Dalam titik inilah sebenarnya Sang Jendral menanamkan kembali kepada penerus ormas-ormas itu bahwa, Ooo ternyata pendiri ormas saya ini begitu luar biasa kiprahnya ikut mendirikan NKRI ini. Kalau begitu kenapa saat ini saya ikut-ikutan arus ingin merobohkanya?? Kenapa ormas saya diam saat ada sekelompok ormas mau merubahnya??
  3. Sang Jendral juga hanya menyebut satu dua ormas yg tidak radikal. Nah, ormas yg radikal tentu akan ikut teriak pura-pura tidak radikal. Apalagi yg mmg tidak radikal, tentu akan muhasabah nafsi/intropeksi diri, kenapa ormas saya termasuk dinilai begitu?? Apakah karena selama ini ormas saya selalu bermesraan dg ormas-ormas radikal, lalu ada penilaian seperti itu?? Apa karena selama ini ormas saya kurang menjaga jamaah dalam sisi aqidah dan doktrinasi, sehingga sering ikut kegiatan ormas radikal itu?? Dan kenapa selama ini saya biarkan??
  4. Penyebutan eksistensi Ormas yang hanya satu dua oleh Sang Jendral bila dikaitkan dengan Kamtibmas Nasional, hemat penulis sangatlah tepat. Bahkan bila perlu CUKUP SATU. Beliau yg membawahi puluhan Polda, Ratusan Polres, ribuan Polsek dan Intel pasti sangat 'Alim tentang eksistensi ormas-ormas Islam sesungguhnya dari Sabang sampai Meraoke. Fakta membuktikan, saat ormas anti pancasila dibubarkan hanya satu Ormas yg terang-terangan mendukung langkah itu. Giliran Ormas dan tokoh radikal "Membuat panggung mainan" mereka sama ikut ikut bermain, paling tidak ikut datang meramaikan. Konsistensi dalam merawat dan membesarkan ormaspun banyak yg gagal, "la yamutu wala yahya", Tidak mati, tapi hidup pun enggan". Pada kemana ormas-ormas yg mengaku lahir lebih dulu dibanding satu dua yg disebutkan itu?? Kalau saat ini sirna tinggal nama atau menjadi kerdil, dimana salahnya?? Berarti kan "wujuduhu ka 'adamihi", Keberadaanya sama dengan Ketiadaannya. Sehingga sah-sah saja untuk tidak disebut.
Jadi langkah Sang Jendral bila itu strategi pembinaan hemat penulis sangatlah strategi brilian.
Itu adalah suatu metode baru dalam pembinaan ormas dg sistim "Kejut" yg luar biasa. Disaat metode yg lurus dan datar ternyata tidak "ngefek" sama sekali.

Pencari Laron kadang butuh nyala lilin untuk memancing laron-laron keluar dari sarangnya.

# NKRI?? Harga Mati !!!!!
# Pancasila??? Jaya !!!!!

Penulis: Zahro Wardi, 03/02/2018. Komisi Fatwa MUI Kab. Trenggalek/Ketua LBM PC NU Trenggalek

Foto Kyai Zahro Wardi Pengasuh PP Darussalam Sumberingin Trenggalek beliau juga merupakan Ketua Lembaga Bahtsul Masail PC NU Trenggalek

Dari: Zahro Wardi

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
To the point dan bil iktifa' wal ikhtishor Pak Menteri. Tolong rencana Full Day School dan hari sekolah 5 kali dalam seminggu diurungkan. *Ini harga mati !!*
1. Sadarilah, kebijakan anda ini akan meniadakan Ratusan ribu -sekali lagi- ratusan ribu lembaga Pendidikan TPQ/TPA dan Madin (Madrasah Diniyah) diseluruh Indonesia. Akan mbubrahi tatanan pendidikan Pondok pesantren yg santrinya ndobel dg sekolah umum. Ingat, Lembaga2 ini sudah ada jauh sebelum anda lahir bahkan sebelum RI Merdeka.
2. Sadarlah, kebijakan anda ini akan menyulut api permusuhan, atau paling tidak akan memantik kecurigaan antar Ormas. Ini bahaya. Semua tahu, ratusan ribu lembaga yg akan gulung tikar itu mayoritas milik NU. Dan anda ini orang Muhamadiyah. 
3. Dari sisi kemaslahatan kebijakan, apa yg salah dg lembaga2 TPQ dan Madin yg ingin anda hilangkan?? Tatanan Ponpes yg akan bubrah?
Soal karakter Bangsa? Ayo silahkan di survei.. Dari Jutaan Narapidana baik kasus Korupsi, kriminal maupun yg lain, hanya berapa persen yg tamatan Ponpes dan Madin?? Saya yakin seyakin2nya 99% bahkan lebih adalah tamatan pendidikan umum murni. Bukan dari Madin/Pesantren.
4. Kalau sisi keberhasilan mencetak pelaku-pelaku ekonomi yg tangguh, ayo disurvei !! Saya jamin 100% jebolan Madin dan Ponpes tidak ada yg jadi pengangguran apalagi GePeng(Gelandang dan Pengemis). Pendidikan Madin dan PonPes itu menanamkan kemandirian dan tanggung jawab hidup. Prinsipnya adalah *Wajib cari rizki yg penting halal*. Tidak pilah pilih pekerjaan. Sebaliknya, silahkan tanya, jutaan para GePeng itu pendidikanya apa?. Pasti dia akan menjawab tamatan pendidikan umum tertentu. Bahkan, berapa juta Sarjana di Indonesia yg masih jadi pengangguran??
5. Sebenarnya siapa yg anda ajak rembukan dan olah fikir sehingga muncul gagasan seperti itu??
Disaat mulai ada Pemerintah Daerah (Gubernur) berusaha mati2 an mempertahankan TPQ dan Madin dengan progam Bos (Bantuan Operasional Sekolah)TPQ dan madin, bahkan puluhan Bupati dan Wali Kota sudah membuat Perda, tentang kewajiban bagi setiap siswa sekolah umum, untuk bersekolah juga di TPQ dan Madin, mengapa anda justru sebaliknya? Ada apa dibalik semua itu Pak Menteri?
5. Bapak Muhajir Efendi yg terhormat.. Saya yakin anda tahu bagaimana kondisi TPQ, Madin dan Pondok Pesantren salaf didaerah-daerah. Mayoritas tidak punya gedung. Masih numpang diserambi Masjid, Mushola dan emperan/rumah warga. Untuk beli papan tulis, bangku dan kapur masih urunan dari wali santri. Kadang urunanya ditarik lewat hasil pertanian wali santri saat panen. Belum lagi ustadz dan ustadzahnya ikhlas dan telaten mengajar tanpa gaji. Ia relakan mengurangi waktu kerja demi anak didiknya. Disaat *Umar Bakre Pendidikan raga* dimanjakan dg gaji ke 13, gaji ke 14, sertifikasi dan berbagai tunjangan lain, si *Umar Bakre Pendidikan Jiwa* tidak pernah meminta itu, apalagi ada gerakan demo. 
Seharusnya kebijakan untuk memikirkan hal-hal semacam itu yg lebih maslahah. Sejak kapan bait "Bangunlah Jiwanya" dalam lagu Indonesia Raya hilang? Masih ada kan?
Alokasi pendidikan 20% dari APBN itu tidak sedikit. Sekalipun TPQ, Madin dan Ponpes tidak masuk dalam sasaran alokasi itu, ia tidak pernah menuntut. Jadi sangat ironis bila Pendidikan berbasis akhlaq dan ukhrowi (yg nota bene lebih penting dari pendidikan umum) ada yang mengganggu.
6. Kini banyak tokoh Negeri ini yg menolak rencana itu. Bahkan PBNU dan MUI sudah resmi mengeluarkan penolakanya. Dan pasti akan ada gerakan2 masif lain bila kebijakan itu dilanjutkan. Kami tidak ingin nanti ada bahasa, *Kebijakan ini masih uji coba* atau *Kebijakan ini tidak mengikat. Boleh dilasanakan oleh sekolah2 umun boleh tidak*. Satu yg kita minta, rencana itu wajib dibatalkan. Jangan ada tipu-tipu lagi.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
(Zahro Wardi, 12/06/2017 PP Darussalam Sumberingin Trenggalek).


IPNU Trenggalek - Perbincangan seputar kasus penyadapan yang dilakukan Amerika dan Australia terhadap sejumlah tokoh pemimpin dunia yang dilontarkan Edward Joseph Snowden, pakar komputer dan mantan anggota CIA dan NSA, yang diikuti ketegangan sewaktu  para politisi dan pengamat politik mengecam keras pelanggaran etika dan aturan internasional itu yang diikuti langkah tegas pemerintah Indonesia terhadap Australia yang dianggap meremehkan kasus itu, hacker Indonesia dan hacker Australia sudah bertempur di dunia maya dengan saling rusak situs masing-masing Negara.

UKUSA & ECHELON di Balik Penyadapan Data Intelijen

Sufi Kenthir, Dullah, Johnson, dan Azumi  yang mengikuti jalannya pertempuran antar hacker itu berkali-kali melonjak gembira sambil bertepuk tangan, ketika mendapati statemen resmi pemerintah Australia terkait kerusakan dan gangguan situs-situs resmi milik Polisi Federal Australia, Reserve Bank Australia dan bahkan Departemen Pertahanan Australia. “Hacker Australia nggedabrus, pembual besar. Ngancam mau merusak situs-situs penting Indonesia, ternyata yang dirusak cuma situsnya Koperasi, Usaha Kecil Menengah, BPR, Salon, Perajin Tempe, Usaha Rumahan yang dikelola orang-orang Gaptek, hacker kita sudah buktikan kemampuan serang situs resmi negeri criminal itu,” seru Dullah bangga.

“Memangnya anak-anak kita sudah dikenal  hebat di kalangan hacker dunia?” gumam Sufi tua yang mendekat.

“Bukan saja hebat pakde, tapi ditakuti,” sahut Dullah.

“Oo apa iya?”

“Reputasinya sudah termasyhur, pakde.”

“Apa buktinya?”

“Kerajaan Malaysia pernah merasakan bagaimana sakitnya “dihajar” hacker Indonesia yang merusak sekitar 116 situs. Israel yang termasyhur kecanggihan teknologinya, sempat marah-marah dan mengancam-ngancam akan menghancurkan situs-situs Indonesia karena situs Israel dalam jumlah ratusan diretas hacker Indonesia, dan ancaman Israel tidak pernah terbukti,” ujar Dullah.

“Ooo begitu ya,” Sufi tua manggut-manggut,”Itu artinya, orang-orang tua seperti aku tidak perlu khawatir bahwa nasionalisme akan pupus dan hilang dari negeri ini.”

“Ya tidak perlu khawatir pakde, karena nasionalisme anak-anak negeri ini tumbuh secara alamiah seiring perubahan. Memang sampeyan sudah khawatir dengan nasionalisme bangsa kita?” tanya Dullah ingin tahu.

“Ya mengikuti polemik penyadapan terkait isu yang dilontarkan Edward Joseph Snowden, terus terang aku cemas. Karena semua yang berkomentar soal penyadapan, kelihatan sekali tidak memahami secara substantif dan esensial kasus semacam ini. Mulai pengamat sampai presiden menyatakan heran dengan tindakan Australia melakukan penyadapan terhadap Indonesia yang dianggap sebagai Negara sahabat. Semua orang kita seolah sepakat berkata – Kok tega-teganya Australia mengkhianati kita, menyadap pembicaraan pemimpin negeri kita yang sudah sangat percaya terhadap Australia,” kata Sufi tua dengan nada mengeluh.

“Bukankah itu pikiran khusnudz dzan yang dianjurkan agama, pakde?” sahut Johnson menyela.

“Khusnudz dzan gundulmu itu,” sergah Sufi tua.

“Menurut pakde, apa pemikiran orang kita terhadap Australia bukan tergolong khusnudz dzan namanya?” kata Johnson dengan nada Tanya.

“Bukan,” sahut Sufi tua berang,”Mereka berkomentar seperti itu karena buta terhadap realita sejarah yang pernah meluluh-lantakkan negeri dan bangsanya.”

“Meluluh-lantakkan negeri dan bangsa Indonesia?” sahut Azumi menyela,”Memangnya presiden Indonesia sebelum SBY pernah disadap, pakde?”

“Bukan hanya disadap, tapi juga diintervensi oleh oleh jaringan UKUSA dan ECHELON.”

“Sebentar pakde, sebentar,” Dullah terlonjak kaget dan langsung memburu,”Apa itu UKUSA dan ECHELON?”

“Sejarah mencatat pernah ada Perjanjian antara Britania Raya dengan  Amerika Serikat yang disebut UKUSA (United Kingdom-United States of America), yaitu perjanjian multilateral untuk kerjasama dalam sinyal intelijen antara Kerajaan Inggris dengan Amerika Serikat, di mana perjanjian ini pertama kali ditandatangani pada 5 Maret 1946 oleh Inggris dan Amerika Serikat dan kemudian diperluas mencakup tiga bekas  koloni   Inggris, yaitu Canada, Australia dan New Zealand. Menurut Joan Coxsedge dalam The Guardian, 12 December 2001, Perjanjian UKUSA ini merupakan tindak lanjut dari Perjanjian Brusa (British-USA) tahun 1941, yaitu perjanjian kerjasama selama Perang Dunia II  atas masalah-masalah intelijen. Dokumen UKUSA ini ditandatangani oleh Kolonel Patrick Marr-Johnson yang mewakili  Dewan Sinyal Intelijen Kerajaan Inggris dengan Letnan Jenderal Hoyt Vandenberg yang mewakili Dewan Komunikasi Intelijen Angkatan Darat dan Angkatan Laut Amerika Serikat,” kata Sufi tua menjelaskan.

“Kalau ECHELON, pakde, apa sama dengan UKUSA?”

“Tahun 1960 jaringan UKUSA diperluas  dalam koleksi Echelon dan Jaringan Analisis Sinyal Intelijen (SIGINT) yang dioperasikan atas nama lima negara penandatangan dalam Persetujuan Keamanan Inggris-AS (Australia, Canada, New Zealand, Inggris, dan Amerika Serikat), yang dikenal sebagai AUSCANZUKUS,” kata Sufi tua menjelaskan.

“Berarti aktivitas sadap-menyadap yang dilakukan Amerika dan Australia itu sejatinya terorganisasi dan tersistematisasi pakde,” sahut Dullah menyimpulkan.

“Ya pasti itu,” jawab Sufi tua menjelaskan,”Sebab berdasarkan Perjanjian UKUSA, Markas Komunikasi Pemerintah Inggris (GCHQ) dan US National Security Agency (NSA) telah berbagi informasi  data intelijen Uni Soviet, Republik Rakyat China, dan beberapa negara Eropa Timur yang dikenal sebagai Exotics.  Setiap anggota aliansi UKUSA secara resmi diberikan tanggung jawab utama untuk pengumpulan informasi intelijen dan analisisnya di berbagai belahan dunia. Australia, misal, ditugasi melakukan perburuan untuk pengumpulan data komunikasi intelijen yang berasal di Indocina, Indonesia dan Cina selatan. Hal serupa, dijalankan pula dalam operasi Echelon.”

“Jancuk,” tukas Azumi  misuh-misuh, “Berarti selama ini Australia memang bertugas menyadap dan mengganggu jaringan informasi intelijen Negara kita.”

“Faktanya seperti itu.”

“Kalau UKUSA dibentuk  1946 dan bahkan sejak bernama Brusa tahun 1941, berarti operasinya sudah sangat lama pakde,” kata Dullah ingin penjelasan.

“Sejak pendudukan Jepang tahun 1943-1945, UKUSA sudah beroperasi di Indonesia karena itu tentara Australia secara sporadis tersebar di berbagai tempat untuk mengumpulkan data intelijen Jepang. Sewaktu Indonesia merdeka, UKUSA sudah mengobok-obok negeri kita dan ikut campur mulai soal perundingan Linggarjati, Renville, KMB sampai kasus pemberontakan PRRI/Permesta. Itu sebabnya, Bung Karno yang sudah tahu kejahatan UKUSA  itu sering berteriak mengecam,”Jangan takut menghadapi Nekolim. Inggris kita linggis, Amerika kita setrika” dan berulang-ulang mengecam Amerika dengan makian keras,”Go to hell with your aid!”, terutama saat Negara Uncle Sam itu sangat ikut campur urusan dalam negeri Indonesia,” kata Sufi tua menjelaskan.

“Berarti sangat mungkin jatuhnya Bung Karno ada hubungan dengan UKUSA dan Echelon, pakde?” tanya Dullah ingin tahu.

“Itu pasti,” jawab Sufi tua, “Karena usaha penggulingan Bung Karno dimulai dengan kemunculan Dokumen Gilchrit, yaitu nama Duta Besar Inggris dewasa itu.”

“Dokumen Gilchrist yang mengadu domba kekuatan pendukung Bung Karno, pakde?”

Sufi tua menganggukkan kepala.

“Termasuk The Dead List yang berisi nama-nama 5000 orang kader PKI bikinan CIA yang diserahkan kepada Soeharto?” tanya Dullah penasaran

Sufi tua mengangguk,”Semua berkaitan dengan dokumen intelijen UKUSA.”

“Tapi pakde, menurut saya, Bung Karno pantas disadap dan dikacaukan jaringan intelijennya karena jelas-jelas tidak bersahabat dengan Inggris dan Amerika, sebaliknya dekat dengan RRC dan Uni Soviet. Sedang rezim yang sekarang berkuasa ini kan sangat bersahabat dengan Amerika dan Australia, untuk apa disadap-sadap?” tanya Dullah penasaran.

“Asal kamu tahu, Dul,  dua orang anggota intelijen Australia, Schapelle Leigh Corby dan Achim Frans Grobmann, yang menjalankan tugas memasukkan pasokan narkoba ke Indonesia ketangkap tangan membawa narkoba dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun. Australia berkepentingan untuk membebaskan anggota intelijennya itu. Nah, sewaktu Presiden Yudhoyono menghadiri KTT G-20 di London, pembicaraannya disadap oleh UKUSA Inggris. Hasil sadapan itu diserahkan Ingghris kepada Perdana Menteri Australia, Kevin Ruud,” kata Sufi tua mengutip harian Sydney Morning Herald.

“Hasilnya, muncul Keppres No.22/y/2012 tertanggal 15 Mei 2012, yang memberikan grasi pengampunan pengurangan  masa tahanan kepada dua terpidana narkotika, Schapelle Leigh Corby dan Achim Frans Grobmann,” kata Sufi tua berspekulasi.

“Selain itu,pakde?”

“Rencana Angkatan Laut membeli Kapal Selam ke Rusia yang teknologinya lebih canggih daripada kapal selam Australia, terbukti mengambang dan terkatung-katung.  Kemungkinan  karena Australia punya data sadapan pejabat-pejabat tinggi negeri ini,” jawab Sufi tua.

“Kita benar-benar dikentuti, dikencingi, diberaki, diludahi oleh Australia,” kata Dullah.

“Susahnya, kita tidak tahu bahwa Australia bagian dari jaringan UKUSA dan Echelon.”

“Jancuk..jancuk!” Azumi menampar keningnya keras-leras,”Betapa gobloknya kita selama ini selalu berprasangka baik kepada Australia dan bahkan merasa lebih rendah dari mereka. Padahal, Australia itu Negara koloni, vassal dan jajahan Inggris. Bagaimana pemimpin-pemimpin kita merasa sederajat dan bahkan merasa lebih rendah dari Negara koloni seperti Australia, bukankah kita bangsa yang merdeka dan berdaulat?”

“Mental inlander,” sahut Sufi tua,”Mental kacung, jongos, babu, kuli, budak. Itulah kendala yang  paling aku cemaskan dari kecenderungan elit pemimpin negeri ini.”

“Padahal, hacker kita membuktikan bahwa kualitas manusia Australia jauh lebih goblok dalam penguasaan teknologi informasi dibanding anak-anak kita,” sahut Sufi Kenthir ketawa terkekeh-kekeh.

“Ya jelas lebih goblok dari bangsa kita,” sahut Sufi tua menimpali,”Australia itu kan benua tempat pembuangan para pelaku tindak kriminal Inggris sampai abad ke-19. Jadi bangsa itu secara genealogis adalah keturunan perampok, maling, bajak laut, pencoleng, pembunuh, pemerkosa,  tukang copet, mata-mata asing, pengedar opium, budak, dan pengkhianat Negara.”

“Ooo begitu ya..?” tukas Johnson, Dullah dan Azumi bersamaan,”Pantas saja mereka sering melanggar norma dan etika, rupanya leluhur mereka itu bandit-bandit buangan dari Inggris..”

Penulis : Agus Sunyoto
Sumber : Pesantren Global
Teknologi Informasi

IPNU Trenggalek - Beberapa waktu terakhir, dunia dihebohkan dengan beredarnya dokumen dari Edward Snowden (mantan kontraktor National Security Agency - NSA), tentang aktivitas penyadapan AS dan Australia terhadap pemimpin dan pejabat manca negara termasuk Indonesia. Edward Snowden mengungkap, di wilayah Asia Tenggara, berbagai alat penyadapan AS diduga terpasang di Kedutaan Besar di Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Phnom Penh dan Yangon.

Dalam konteks kedaulatan negara, tentunya sangat wajar jika seluruh kepala negara yang merasa dirugikan dengan praktek penyadapan itu kemudian bersikap tegas, memprotes, melakukan pengusiran duta besar dan melakukan tindakan yang memang seharusnya dilakukan. Sebab tindakan ini tidak hanya melanggar konvensi internasional, bahwa antarnegara dilarang melakukan pengintaian, mencari informasi secara ilegal, penyelidikan, penyadapan termasuk spionase, bahkan lebih jauh tindakan penyadapan ini adalah bagian dari “penjajahan”, tindakan yang tidak menghormati kemerdekaan dan kedaulatan bangsa lain.

Pemerintah Perancis, Jerman dan Brasil yang juga menjadi korban penyadapan telah bersikap keras, disamping telah memanggil Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) dari masing-masing perwakilan di negaranya, mereka juga sudah menelpon langsung Obama atas kekecewaannya karena AS selama ini melakukan hubungan yang tidak didasari dengan kepercayaan. Pemerintah China dan Malaysia pun sudah melayangkan protes keras, bahkan Jerman dan Brasil telah mengajukan secara resmi draf resolusi atas hak privasi untuk mencegah penyadapan ke PBB. Sikap yang layak untuk ditegaskan bukan? Lalu bagaimana dengan sikap Pemerintah Indonesia?

Di dalam negeri kita pun dihebohkan dan kecewa dengan beredarnya info dari Edward Snowden tersebut, tetapi kemudian kita dibuat “geregetan” dengan sikap pemerintah yang sangat tidak tegas, bahkan terkesan “lembek” bersikap terhadap praktek penyadapan itu. Mungkin rakyat di masing-masing negara yang terkena praktek penyadapan oleh AS dan Australia pun kecewa, tetapi rakyat Indonesia ternyata harus “kecewa kuadrat”, karena hal itu tidak diimbangi dengan sikap tegas pemerintahnya. Apa yang mendasari ketidaktegasan pemerintah kita? Apakah pemerintah kita tidak menyadari bahwa mereka adalah pemimpin dari negara yang merdeka dan berdaulat, dan memiliki hak untuk bersikap tegas ketika ada praktek dari Negara lain yang “merongrong” kedaulatan negeri ini? Lalu, seperti apa upaya pemerintah untuk meningkatkan teknologi pengamanan informasi agar tidak dapat d sadap di kemudian hari?

Dinamika di atas mendorong saya untuk sedikit memaparkan pengalaman empirik saya, betapa negeri ini memang belum berdaulat dalam hal teknologi informasi. Selain kasus penyadapan yang tidak terdeteksi oleh pengamanan dalam negeri seperti telah di singgung di atas, juga ada permasalahan lain yang memang tidak didukung dengan kebijakan secara maksimal, misalnya penguatan teknologi informasi (radar dan sinyal) di wilayah perbatasan negara. Mungkin hal ini terdengar biasa saja, tidak penting. Atau sudah menjadi isu lama tanpa tindaklanjut. Padahal, peningkatan teknologi ini menjadi sangat krusial dalam menjaga kedaulatan udara, laut dan daratan negeri ini.

Tahun lalu saya pernah singgah ke Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke lintas batas negara Indonesia-Malaysia melalui Entikong. Sangat miris, ketika mendekati gerbang batas, sinyal Simpati dan Indosat di HP saya SOS dan mendapat informasi bahwa saya telah terhubung dengan layanan provider di Malaysia (DiGi). Ada tiga SMS info dari DiGi yang saya terima terkait dengan hal itu. Pertama, “DiGi welcomes you to Malaysia, we wish you a pleasant stay! To make call, dial +<country code><areacode><phone no>”. Kedua, for more travel info, contact tourism Malaysia at 1300885050. To stay with DiGi for the hottest IDD&roam rates in town. Ketiga, “in the event of an emergency, please call the emergency number, 999”. Selain itu, juga ada dua SMS dari Indosat, pertama, “Anda di jaringan PROMO Digi Telecom. Pastikan SELALU di jaringan ini agar dpt menikmati roaming Data&BB Flat Unlimited Rp25rb/hari. Kedua, Anda di jaringan PROMO Digi Telecom. TELP/mnt ke Indonesia Rp15rb. Terima Telp Rp15rb, ke nomor local Rp 7500. Rp 7500/SMS, Data&BB Flat Unlimited Rp 25rb/hari.

Ketika itu saya tidak sadar, bahwa secara otomatis penggunaan jaringan di HP telah terhubung, karena lupa di setting secara manual. Setelah izin dengan petugas perbatasan saya masuk ke wilayah Malaysia, hanya untuk sekedar melihat-lihat, “pusing-pusing” istilah di sana. Karena saya menggunakan smart phone yang selalu terkoneksi dengan jaringan internet, hal ini tentunya merugikan sangat. Setelah menerima telepon dari seorang teman ketika di wilayah Malaysia hanya beberapa menit, pulsa saya habis seketika, padahal saat di Sanggau baru isi pulsa 100 ribu. Dan yang lebih menjengkelkan lagi adalah, sinyal Malaysia masih terhubung di HP saya ketika saya sudah kembali masuk di wilayah Indonesia, bahkan sampai melewati kantor Kecamatan Entikong yang cukup jauh dari gerbang batas. Sinyal radio Malaysia pun masih terdengar jernih di radio mobil sampai jarak yang lebih jauh lagi. Huft!!! (gaya ekspresi tulisan ABG jaman sekarang. Heheee)

Dalam perjalanan yang lain, ketika saya menyebrang dari Pelabuhan Sekupang, Batam menuju Tanjung Balai Karimun, Kepri, ditengah jalan pun saya mendapati informasi tentang jaringan provider yang terhubung. Ada dua sms pemberitahuan yang saya terima, pertama, “Anda di jaringan Starhub. Pastikan SELALU berada di jaringan ini agar dpt menikmati Data&BB unlimited RP.25rb/hari”. Kedua, “Anda di jaringan PROMO Starhub. TELP/mnt ke Indonesia Rp 15rb, Terima tlp Rp 15rb, ke nomor lokal Rp7500, Rp7500/SMS, Data dan BB flat unlimited Rp 25rb/Kb”.

Hal yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa ketika melintas menuju Tanjung Balai, dapat dipastikan bahwa kapal penyebrang melintas di wilayah laut Indonesia. Karena jalur penyebrangan antara Batam dan Karimun, tidak terputus dengan wilayah Negara lain. Masih ada pulau tebing, pulau terluar dari Kabupaten Karimun yang langsung menjorok ke perbatasan dengan Singapura. Artinya, dengan konsep archipelago state yang merujuk pada Deklarasi Djuanda tentang wilayah kedaulatan negara kepulauan, batas laut Indonesia masih jauh di luar jalur lintas antara Batam menuju Karimun. Tetapi faktanya, teknologi provider yang terhubung di Hp adalah milik Negara tetangga.

Dari dua kondisi di atas terkait dengan kekuatan sinyal provider di Indonesia, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan teknologi informasi di perbatasan. Jika dengan provider sendiri di ibukota saja dapat dilakukan upaya penyadapan oleh asing (AS dan Australia), bukan tidak mungkin hal itupun dapat dilakukan oleh provider Negara asing.

Dinamika penyadapan oleh asing dan lemahnya teknologi informasi kita di perbatasan mungkin tidak terkait secara langsung, tetapi jika kemudian hal ini dikait-kaitkan dengan dinamika persinggungan dengan negara tetangga (asing) terkait dengan konflik perbatasan, teknologi informasi mutlak harus dimaksimalkan oleh pemerintah. Tidak hanya untuk memberikan pelayanan informasi yang efektif dan efisien kepada rakyat, tetapi juga sekaligus menjaga dan mempertegas wilayah kedaulatan. Kasus penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan beberapa tahun lalu oleh tentara Diraja Malaysia karena dianggap telah memasuki wilayah laut Malaysia tanpa izin, bukan tidak mungkin permasalahan utamanya ada pada teknologi informasi yang menentukan baik buruknya sinyal radar di wilayah kelautan kita.

Ada statemen yang cukup menyedihkan dari seorang kepala desa di perbatasan, Bengkayang – Malaysia. “semua sudah datang ke sini, wilayah kami ini sudah didatangi oleh Bupati, Gubernur, Menteri-menteri, Pejabat Pertahanan dan Keamanan dari Jakarta, bahkan Presiden pun sudah datang berkunjung, tetapi kami tetap seperti ini. Tetap terpencil dan terisolir. Untuk mencapai jarak 20 KM harus ditempuh dengan 1 hari jalan kaki, karena tidak ada akses jalan untuk kendaraan. Menggunakan jalur sungai bisa lebih lama, karena terkadang air sungai sedikit, harus angkat perahu sampai di air sungai yang cukup dalam. Jaringan radio kami lebih jernih siaran radio dari Malaysia, juga televisi. Untuk telepon disini tidak ada sinyal Indonesia, yang kuat dari Malaysia”.

Lemahnya pengamanan teknologi informasi, sehingga kita bisa disadap dan tidak menyadarinya, serta lemahnya komitmen pemerintah terhadap wilayah perbatasan yang berdampak pada rongrongan kedaulatan oleh Negara tetangga, dapat sedikit menggambarkan tentang anomaly negeri ini, merdeka tetapi belum berdaulat. Sampai kapan hal ini akan terus berlanjut? Hari pahlawan 10 November 2013 semoga dapat menginspirasi siapapun terutama Jajaran Pemerintah terkait, yang memiliki akses dan sumberdaya untuk membangun dapat lebih mendorong prioritas menjaga kedaulatan negeri ini dari rongrongan asing. Sehingga kita dapat merasakan kemerdekaan yang berdaulat atas negeri ini.

Penulis : Munandar Nugraha
Sumber : NU Online
Khaerul Anam Harisah Ketum PP IPNU
Khaerul Anam Harisah Ketum PP IPNU
IPNU Trenggalek - Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Khairul Anam Harisah meminta kepada masyarakat Indonesia agar tidak memilih calon anggota legislatif dan calon presiden yang memiliki latar belakang islam radikal.

"Masyarakat Indonesia harus memilih calon anggota legislatif dan calon presiden yang  tidak memiliki hubungan atau pernah berafiliasi dan menjadi bagian dari gerakan Islam radikal," kata Khairul melalui siaran persnya di Jakarta, Selasa (24/9/2013).

Khairul mengatakan masyarakat Indonesia juga harus menjadi pemilih-pemilih yang cerdas dan tidak hanya termanipulasi oleh penampilan sesaat, karena pilihan saat ini akan menentukan nasib Indonesia lima tahun ke depan.

"Masyarakat Indonesia harus memilih calon anggota legislatif dan calon presiden yang memiliki komitmen dan kepedulian yang besar terhadap dunia pendidikan," katanya.

Masyarakat lanjut Khairul kadang dibuat bingung dengan penampilan para tokoh-tokoh yang mendadak menjadi peduli dan dekat dengan mereka.

"Entah karena mereka memang benar-benar ingin memperjuangkan aspirasi masyarakat atau sekadar ikut serta meramaikan pesta demokrasi, wallahu a’lam,"

"Masyarakat Indonesia harus memilih calon anggota legislatif dan calon presiden yang tidak pernah tersandung masalah korupsi dan berkomitmen untuk siap memberantas korupsi," tutup Khairul.

Penulis: Willy Widianto
Sumber: Tribunnews.com
Peta Sumber Daya Alam

Sejarah selalu berulang. Apa yang dapat kita pelajari dari peristiwa ’65 selain sejarah itu sendiri dan kepentingan rekonsiliasi? Bagaimana menempatkan, sekaligus mengambil pelajaran, dari kasus ’65 dalam konteks konflik sumber daya alam (SDA) di Indonesia masa kini dan yang akan datang? Tulisan ini melihat beberapa kemiripan diantara keduanya, dan bertolak dari situ tulisan ini merumuskan agenda gerakan.

Asia Tenggara 1930-60

Dalam buku Moral Economy of Peasant Rebellion in South East Asia (Scott, 1976) disebutkan bahwa pada tahun 1930-an terjadi beberapa pemberontakan petani di Asia Tenggara seperti di Vietnam, Burma, Indonesia, dan Filipina (yang sekarang). Prakondisi sosial-ekonomi yang melatarbelakangi pemberontakan petani adalah kolonialisasi dan krisis ekonomi di tahun 1930-an yang diikuti oleh kenaikan pajak yang dikenakan kepada para petani.

Beberapa dekade kemudian kaum pergerakan di masing-masing daerah di Asia Tenggara tersebut menemukan formula nasionalisme sebagai antitesis terhadap kolonialisme, sekaligus mencoba menjawab eksploitasi yang nyaris tanpa batas oleh penjarah di kawasan ini. Indonesia sendiri merdeka sekitar satu setengah dekade setelahnya.

Pasca kemerdekaan di tahun 1945, di bawah Soekarno, Republik Indonesia (RI) melakukan gerakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada tahun 1957-59. Politik nasionalisasi ini berhasil memindahtangankan kepemilikian 90% perkebunan ke tangan pemerintah RI, 62% nilai perdagangan luar negeri, dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank, perkapalan, dan sektor jasa (Kanumoyoso, 2001).

Zaman terus bergulir, pada tahun 1965, dalam kondisi perang dingin yang semakin memanas, melalui sebuah kudeta yang merangkak, Soekarno didongkel dari kursi kepresidenan dan diganti oleh Jenderal Soeharto yang disokong penuh oleh kekuatan global, Amerika Serikat (Klein, 2008). Dan sejak saat itulah secara perlahan kekuatan kapital internasional mencengkeramkan kuku-kukunya untuk menjarah hampir seluruh penjuru negeri, sampai sekarang.

Peristiwa ’65 telah menyebabkan hilangnya pekerja-pekerja kebudayaan terbaik di masanya, dan karena lazimnya dalam semua peradaban bahwa para pekerja kebudayaan adalah para penantang terdepan setiap bentuk eksploitasi dan fasisme, maka kemusnahan mereka secara massal telah memuluskan rezim birokratik-militeristik otoriter Orde Baru untuk berkuasa penuh selama 32 tahun (Supartono, 2000) dengan cara menumpuk hutang luar negeri dan melego kekayaan alam.

Konflik SDA di Indonesia pada tahun 2013

Konflik di bidang SDA adalah salah satu permasalahan besar di Indonesia pasca reformasi. Sepanjang tahun 2013 yang masih berlangsung saja telah terjadi 232 konflik SDA di 98 kabupaten kota di 22 provinsi yang diiring dengan jatuhnya korban sebagain besar dari kalangan kaum tani. Dari sebanyak 232 konflik SDA yang melibatkan petani ini, 69% di antaranya dengan korporasi (swasta), Perhutani 13%, taman nasional 9%, pemerintah daerah 3%, instansi lain 1% (Kompas, 16/02/2013), dan sisa 5% lainnya tidak dijelaskan oleh Kompas.

Kemiripan ’65 dan Pasca-Reformasi

Ada beberapa kemiripan antara apa yang terjadi dalam periode 1930-60-an dengan apa yang terjadi di Indonesia sejak Reformasi 1998 sampai sekarang.

Kemiripan pertama, tengah terjadi perubahan yang mendasar dalam hal tata kelola kenegaraan. Pada kurun 1930-60, gelombang nasionalisme telah meruntuhkan penjajahan yang telah bercokol selama berabad-abad. Kemerdekaan datang, maka berubahlah sistem kolonial menjadi negara-bangsa. Masa pergerakan dan transisi menuju kemerdekaan ini rupanya, seperti yang sudah disampaikan di atas, sampai memengaruhi kehidupan kaum tani dalam hal pajak yang meningkat di zaman kolonial.

Pasca-Reformasi 1998; disadari atau tidak, sedang terjadi juga perubahan besar-besaran dalam hal tata kelola bernegara di Indonesia. Tonggak-tonggak yang paling dapat dilihat adalah desentralisasi yang memberikan kekuasaan lebih besar terhadap pemerintah kabupaten/kota. Akan tetapi, hal yang jarang disadari adalah bahwa konfigurasi triad lama “negara-korporasi-masyarakat” secara perlahan juga mulai berubah menjadi “korporasi+negara-masyarakat”. Negara Orde Baru yang otoriter telah tumbang berganti dengan Negara Pasca-Reformasi yang menjadi perpanjangan tangan kapital.

Ada beberapa fakta pendukung untuk lahirnya konfigurasi baru ini. Hukum yang tadinya berfungsi untuk melayani warga negara dan melindunginya dari tindakan kesewenang-wenangan yang mungkin terjadi, telah berubah menjadi instrumen yang menyukseskan peneterasi kapital lebih dalam di sektor ekstraksi.

Contoh pertama lahir dari kasus Lumpur Lapindo. Pada Agustus 2009, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim) mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan perkara (SP3) yang membuat penyelidikan terhadap kasus Lumpur Lapindo tidak bisa diproses lebih lanjut di pengadilan (Batubara, 2011). Keluarnya SP3 ini menafikan analisis yang menyatakan bahwa bencana Lumpur Lapindo terjadi karena selubung pengeboran di sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) dipasang lebih pendek dari yang direncanakan (Tingay et al. 2008; Batubara dan Utomo, 2012; Batubara 2013), dan dengan demikian, ia adalah sebuah bencana industri, alias kejahatan korporasi.

Contoh kedua datang dari kasus ekspansi PT Semen Gresik (SG) ke Pegunungan Kendeng Utara (PKU) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng), dimana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati dicoba disesuaikan dengan kepentingan ekspansi PT SG. Kawasan PKU yang dalam RTRW 1993-2012 Kabupaten Pati, masuk dalam kawasan pertanian dan pariwisata, mau diubah peruntukannya menjadi kawasan industri dan pertambangan dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029. Di sini kita melihat bahwa dokumen RTRW justru mau “disesuaikan”untuk kepentingan ekspnasi PT SG ke PKU di Kabupaten Pati (Batubara, dkk. 2010).

Contoh ketiga adalah kemenangan korporasi dalam kasus uji materiil kasus Lumpur Lapindo dan Sorikmas Mining di Mahkamah Agung (Batubara, 2012).

Dari ketiga contoh di atas, tak ada jalan lain, seseorang harus menyimpulkan bahwa di bidang hukum, isu sudah bergerak dari “tidak adanya penegakan hukum” ke “hukum yang sudah ditunggangi oleh kepentingan ekspansi kapital dan pada saat yang bersamaan mengabaikan kepentingan masyarakat.” Lebih lanjut, negara sudah tidak lagi berfungsi sebagai regulator dalam formasi konvensional triad “negara-korporasi-masyarakat”, tetapi sudah berubah menjadi kacung dalam formasi yang sedang menjadi “korporasi+negara-masyarakat”.

Artinya, untuk melihat kemiripan dengan peristiwa sejarah di tahun 1930-60-an, sekarang ini sedang terjadi perubahan tata kelola kenegaraan kita dari negara Orde Baru yang sentralistik dan sangat kuat, menjadi negara Pasca-Reformasi yang terdesentralisasi dan secara perlahan berubah menjadi perpanjangan tangan kapital. Dan ini, rupanya, menyenggol juga kepentingan kaum tani sehingga memicu munculnya 232 konflik SDA di tahun 2013 yang masih berjalan dengan mayoritas di antaranya (65%) adalah konflik petani versus korporasi(+negara).

Kemiripan kedua adalah menguatnya politik nasionalis. Pada zaman 1930-60-an hal ini ditandai dengan keberhasilan kaum pergerakan kemerdekaan memformulasikan permasalahan mereka di dalam konsep nasionalisme dan dengan itulah mereka keluar dari kungkungan kolonial.

Kemenangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi kepala daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) adalah salah satu bukti dari penguatan kelompok nasionalis. Jokowi yang sebelumnya merangkak dari bahwa sebagai pengusaha mebel, menjadi Walikota Solo, dan seterusnya Gubernur DKI, memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi presiden RI pada pemilu 2014 mendatang. Prediksi ini didukung oleh tingkat keterpilihan Jokowi sebagai calon presiden yang sangat tinggi dari berbagai penelitian yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga survei dan menjadi berita di berbagai media.

Kenaikan Jokowi menjadi tonggak menguatnya ideologi nasionalisme yang bahkan pada era Megawati Soekarnoputri pun kehilangan artikulasinya. Alih-alih melakukan politik nasionalisasi seperti halnya Soekarno pada tahun 1957-59 seperti yang disinggung di atas, Megawati malah melakukan hal sebaliknya dengan melego sejumlah BUMN ke pasar internasional. Sebaliknya, Jokowi, meskipun baru saja naik menjadi Gubernur DKI, langsung mencoba menemukan kembali artikulasi ideologi nasionalisme melalui usahanya untuk mengambil alih perusahaan minum yang melayani masyarakat di DKI, Palyja, dari tangan investor internasional yang berasal dari Perancis (Hidayat, 2013).

Kalau Jokowi berhasil dengan percobaannya mengambil alih Palyja di DKI, maka ekstrapolasi yang akan keluar adalah: Jokowi akan menjadi Presiden RI pada tahun 2014, dan akan memulai politik nasionalisasi perusahaan asing yang lebih luas, atau setidaknya ia akan terus-menerus mencoba mengartikulasikan kembali ideologi nasionalisme dalam ranah ekonomi-politik.

Skenario ini mengantarkan kita pada kenyataan bahwa kapital nasional dan internasional pasti tidak akan tinggal diam. Mereka akan bergerak memobilisasi segala sumber daya yang mereka miliki untuk menjaga kepentingan ekstraksinya di Indonesia. Dan, di titik ini, kasus ’65 bukan lagi sejarah, tetapi ia adalah hal yang di depan mata.

Kemiripan ketiga; dalam diskursus mengenai ’65 yang berkembang, kalangan Nahdliyin terlibat sangat jauh sebagai mesin penjagal kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) ataupun kelompok yang berafiliasi (secara struktural dan idelogis) dengannya. Tetapi cara pandang lain bisa juga ditampilkan, bahwa Nahdliyin juga adalah korban dari peristiwa ini karena pada kenyataannya, bukan tidak ada korban ’65 dari kalangan santri. Lebih jauh, Nahdliyin sebagian besar pada waktu itu adalah dari kalangan petani pedesaan dengan tingkat kemelekan yang rendah. Dan dengan demikian, agenda riset yang harus dirangsang di titik ini adalah melihat kalangan Nahdliyin sebagai korban skenario politik kalangan yang lebih melek yang mengambil untung dari peristiwa ’65.

Pola yang sama sudah memperlihat bentuknya dalam berbagai konflik SDA di basis Nahdlatul Ulama (NU). Kita dapat melihat beberapa kasus seperti konflik pembangkit listrik tenaga uap di Kabupaten Batang, kasus konflik rencana pembangunan pabrik semen di PKU Kabupaten Pati, konflik tambang pasir besi Urutsewu di Kebumen Selatan, dan konflik bahan galian C di Kabupaten Mojokerto (FN-KSDA, 2013). Dalam semua kasus yang disebutkan di atas, pola yang terjadi adalah perbedaan aspirasi (kepentingan) antara elit NU dengan kelompok akar rumput yang sebagian besar adalah petani. Di satu sisi, elit NU merestui ekspansi kapital dan, dalam beberapa kasus, bahkan menjadi bagian dari proses ekspansi kapital itu sendiri dengan jalan mengambil posisi perantara; di sisi lain kelompok akar rumput bergerak menolak ekspansi kapital di bidang industri ekstraktif ini karena mereka merasa penghidupannya terganggu. Pola seperti ini juga ditemukan dalam kasus tambang emas Tumpang Pitu di Banyuwangi. Bahkan lebih jauh, dalam kasus eksplorasi beberapa perusahaan minyak dan gas (migas) di Madura, Kiai bahkan mengambil posisi memuluskan jalan perusahaan migas untuk membebaskan lahan dan memastikan proses eksplorasi tidak mengalami gangguan. Tak pelak, hal ini kemudian memunculkan istilah “Kiai Migas” di Madura (Hakim, 2010).

Untuk melihat kemiripan dengan kasus ’65, maka dalam kasus konflik SDA sekarang seperti yang sudah diuraikan dalam pragraf sebelumnya, yang bisa kita lihat adalah polarisasi kepentingan di kalangan NU sendiri yang (kira-kira) mengerucut ke konflik elit vs akar rumpur di kalangan santri. Kalau skenario politik nasional di atas berjalan, dalam artian Jokowi naik menjadi presiden di 2014 dan ia konsisten dengan artikulasi ideologi nasionalismenya yan kemudian disusul dengan bergeraknya kekuatan kapital di sektor ekstraktif untuk mengamankan asetnya, maka, kasus ’65 bukan sebuah sejarah masa lalu, tetapi kita harus sudah siap menghadapinya. Karena, tinggal dibutuhkan satu gerakan yang secara aktif melakukan ideologisasi untuk memperruncing friksi elit vs akar rumput di kalangan santri, maka konflik berdarah akan terulang. Ini artinya, kelompok petani-santri di pedesaan akan kembali menjadi korban.

Gus Dur dan SDA

Apa yang bisa diambil dari Gus Dur dalam hal tata kelola SDA di Indonesia? Gus Dur adalah seorang nasionalis tulen. Dalam sebuah orasi di hadapan massa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Malang, sehubungan dengan SDA, Gus Dur menyatakan bahwa “Ada tiga macam sumber alam, itu harus direbut kembali, dipakai untuk memakmurkan Bangsa kita…Satu, sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam negeri; tiga, sumber kekayaan laut (Gus Dur, –).”

Pesan di atas sebenarnya terartikulasikan dalam sikap yang lebih konkrit dalam kasus pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Jepara, ketika Gus Dur mengancam akan mogok makan apabila PLTN didirikan di Jepara. Pernyataan ini kemudian memobilisasi kantong-kantong NU untuk mengadakan perlawanan yang lebih masif menolak pendirian PLTN di Jepara (Fauzan dan Schiller, 2011).

Dalam kontestasi terhadap akses dan kontrol terhadap sumber daya yang lebih sengit  dalam kasus Lumpur Lapindo, Gus Dur meminta kepada salah satu kiai rakyat agar tidak menjual tanah mereka. Kelompok ini kemudian yang mengambil sikap paling radikal dalam kasus Lumpur Lapindo dengan memilih tidak menjual tanahnya kepada PT Minarak Lapindo Jaya, kasir PT Lapindo Brantas Inc., seperti yang diperintahkan oleh Peraturan Presiden 14/2007 (Batubara, 2010).

Terhadap gerakan petani internasional yang menyuarakan kedaulatan petani seperti organisasi petani se-dunia, La Via Campesina, Gus Dur sangat respek terhadap usaha para petani membangun gerakan alternatif terhadap penetrasi lembaga keungan dunia seperti International Monetary Fund (IMF) yang sangat merugikan petani (–, 2006).

Dari beberapa nukilan sikap Gus Dur di atas, artikulasinya jelas tanpa tedeng aling-aling. Gus Dur berdiri di belakang Soekarno dalam hal tata kelola SDA.

Agenda Gerakan

Dari penjelasan di atas, maka Nahdliyin tidak punya pilihan lain kecuali: bergerak. Miskinnya kotribusi Lesbumi dalam teks ’65 disebabkan oleh dua hal. Pertama, Lesbumi tidak terlalu aktif pada zaman itu. Kedua, pada zaman sekarang riset dengan mengambil kontribusi Lesbumi dalam kasus ’65 tidak terlalu banyak. Kedua argumen di atas pada dasarnya berujung pada satu titik yang sama: kelompok Lesbumi tidak secara aktif bergerak. Analisis ini sangat masuk akal, karena, kalau kita lihat dokumen Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pembukaannya disebut dengan “Muqaddimah”. Artinya, dari pemilihan kata “Muqaddimah”, secara logis sebenarnya lebih mudah “menarik” Lekra untuk bergabung dengan kalangan agama (santri), daripada untuk menariknya merapat ke kalangan komunis. Secara imajinatif, andai ia adalah “Manifesto”, maka secara logis akan lebih mudah menariknya bergabung dengan PKI. Tetapi, karena kerja pengorganisasian dan pergerakan yang tidak jalan, Lesbumi dan Lekra kemudian menjadi sangat jauh, dan justru sebaliknya, Lekra semakin dekat dengan PKI. Artinya, pengalaman ’65 yang memperlihatkan secara telanjang kurangnya pergerakan di kalangan santri, seharusnya tidak boleh terulang lagi.

Dengan demikian, agenda gerakan yang paling mendesak adalah pengarusutamaan isu konflik SDA di kalangan santri. Pengarusutamaan akan membuat kalangan santri melek dengan persoalan ini, dan dengan itu diharapkan akan meminimalisir friksi kepentingan antara elit dengan akar rumput.

Pengarusutamaan tidak boleh terpenjara di kalangan santri belaka, tetapi harus menjangkau kalangan yang lebih luas seperti kelompok “nasionalis” yang lain. Untuk kelompok nasionalis isu ini sebenarnya bukan isu yang baru, yang belum dilakukan adalah keluar dari skema korporasi dan negara predatoris yang sudah menjadi perpanjangan tangan korporasi serta membangun sebuah anjungan yang dari situ agenda gerakan bersama didifusikan.

Keluar dari skema korporasi bukanlah hal yang mudah, meski tentu saja ia bukan hal yang mustahil untuk dikerjakan. Kebangkrutan sistem korporasi datang dari dalam dirinya sendiri karena terlalu ekstraktif dalam memasilitasi akumulasi kapital pada satu atau sekelompok kaum kapitalis. Kapitalisme di sini, mengikut substansi yang disampaikan Marx (1982) mengambil pengertian yang paling mendasar sebagai proses yang melibatkan “uang yang bergerak” (money in motion) dimana orang membeli bukan untuk mengonsumsi, tetapi untuk menjual kembali agar mendapatkan nilai lebih dari sebuah komoditas. Korporasi, melalui eksploitasi terhadap SDA dan perkerjanya sendiri untuk mendapatkan nilai lebih komoditas, telah menjalankan pola ini selama berpuluh-puluh tahun. Ekstraksi SDA pada dasarnya adalah sebuah proses yang menceraikan para petani dari akses dan kontrol terhadap SDA seperti tanah. Proses ini, dalam kajian kontemporer, lazim disebut sebagai “akumulasi lewat jalan perampasan”, accumulation by dispossession (Harvey, 2003).

Kalau pada zaman pergerakan kemerdekaan RI, para kaum pergerakan telah menemukan rumus gerakan dalam bentuk nasionalisme sebagai antitesis terhadap kolonialisme yang menjadi struktur tata kelola pada waktu itu, maka Pasca-Reformasi, kita dapat mengajukan “kooperasi” sebagai antitesis terhadap “korporasi” yang melakukan akumulasi kapital dengan jalan merampas akses dan kontrol SDA dari tangan-tangan pemiliknya yang sah: petani. Kedaulatan petani dalam tata kelola SDA di sini diartikan sebagai kemerdekaan penuh di pihak petani untuk menentukan secara politik tata kelola yang layak bagi SDA yang mereka miliki.

Mengapa “kooperasi”? Pertama, kita mulai dari terminologi. Dalam Bahasa Indonesia, “kooperasi” berarti “bekerjasama”, sedangkan “koperasi” berarti “perserikatan yang bertujuan memenuhi keperluan kebendaan para anggotanya dengan cara menjual barang-barang kebutuhan dengan harga murah”. Terma “kooperasi” secara sadar dipilih sebagai antitesis terhadap “koperasi” karena tiga alasan: (1) Dalam konteks Orde Baru, lembaga-lembaga koperasi sudah dikooptasi oleh rezim birokratik-militeristik otoriter, koperasi tidak lagi menjadi lembaga yang melayani anggotanya, tetapi menjadi lembaga ekonomi tempat korupsi bersimaharajalela sekaligus menjadi mesin ideologisasi Negara Orde Baru; (2) Pasca-Reformasi, Undang-undang nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian membonsai “kooperasi” menjadi lembaga ekonomi semata dengan membaginya menjadi koperasi produsen, konsumen jasa, dan simpan pinjam. Pembonsaian ini menyebabkan koperasi kehilangan semangat gerakannya, menyimpang dari apa yang diharapkan DN Aidit yang membayangkan koperasi sebagai alat perjuangan kelas (1963). Spesifikasi lewat UU nomor 17/2012 ini pada dasarnya diambil dari spirit kapitalisme yang mengasumsikan bahwa spesifikasi dalam berbagai bidang akan meningkatkan produktivitas sebuah sistem, dalam hal ini koperasi; (3) Dengan dua argumen di atas, terma “kooperasi” yang diadopsi dari tulisan Mohammad Hatta (1954) terasa lebih pas tinimbang “koperasi”.  Dan dengan adanya usaha penegakan kedaulatan pemilik yang sah SDA lewat pengambilan kebijakan peruntukannya yang dimungkinkan lewat rapat tahunan anggota kooperasi, maka tata kelola yang tersentral atau cuma menjadi bagian dari usaha dakwah dalam bentuk kongsi dagang (Jarkom Fatwa, 2004) dapat dihindari.

Kedua, kita dapat melihat argumentasi ideologis seperti yang ada dalam UUD ’45. UUD ’45 menyatakan bahwa seharusnya perekonomian negara dikelola dengan azas kekeluargaan, dalam hal ini kooperasi adalah bentuk yang paling memungkinkan. Kenyataannya, Pasca-Reformasi yang menguat justru korporasi. Dengan demikian, ini adalah momen untuk mengembalikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke khittah-nya dengan memberikan ruang pengelolaan SDA lewat kooperasi.

Ketiga, apakah mungkin mengelola bisnis besar di bidang SDA dengan struktur kooperasi? Hal ini bukan tanpa preseden. Kota Santa Cruz, Bolivia, yang memiliki 1,2 juta populasi, mengelola suplai air minum dengan pola kooperasi sejak tahun 1979, dan hingga saat ini merupakan salah satu penyedia air minum untuk publik yang terbaik di Amerika Latin. Semua pelanggan adalah anggota dari Cooverativa de Servicios Publicos Santa Cruz Ltda (SAGUAPAC) dimana para anggota memiliki hak untuk memilih pengurus kooperasi mereka.  Tata kelola popular seperti ini sudah muncul di beberapa tempat lain seperti Kemitraan Publik di Ghana, dan Kemitraan Publik-Pekerja di Dhaka (Brennan, et al. 2004). Di Cochabamba dan La Paz/El Alto, Bolivia, pasca “Perang Air” awal tahun 2000-an, privatisasi sumber daya air ditolak kehadirannya di kedua kota dan memberikan alternatif berupa tata kelola Kemitraan Publik, meskipun masih menyimpan kelemahan di sana sini seperti efektivitas pelayanan dan pegawai yang tidak profesional (Spronk, 2007), kelemahan yang juga sangat mungkin dimiliki oleh sektor privat.

Pengarusutamaan tata kelola SDA oleh kooperasi adalah langkah awal yang perlu dilakukan di tingkatan Nahdliyin untuk mewujudkan kedaulatan di bidang SDA. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengkonsolidasikan berbagai elemen Nahdliyin yang sudah secara jelas menyatakan sikapnya seperti Pengurus Besar (PB) NU, PB PMII, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), dan FN-KSDA.

PB NU, pada 2012, melalui Konferensi Besar (Konbes) di Cirebon, di bidang ekonomi merekomendasikan “renegosiasi kontrak-kontrak karya pertambangan agar memberi manfaat yang lebih besar bagi pemasukan Indonesia dan kesejahteraan warga” (PB NU, 2012). Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) malah memiliki tuntutan yang lebih tinggi. Pada tahun 2012 PMII menuntut dilakukannya nasionalisasi terhadap aset pertambangan dan energi (Anam, 2013 dan Rasyid, 2013). Sementara, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), menyatakan bahwa tujuan akhir dari tata kelola energi adalah kedaulatan dan ketahanan energi nasional. Bahkan lebih jauh, ISNU mendukung dilaksanakannya reforma agraria (Syeirazi, 2013). FN-KSDA sendiri menetapkan “tata kelola SDA yang berkedaulatan dan sebesar-besarnya bermanfaat bagi rakyat Indonesia” sebagai tujuannya (FN-KSDA, 2013). Akan tetapi secara organisatoris, hampir tidak ada gelombang advokasi yang masif dari kelompok NU terhadap warga yang mengalami persoalan konflik SDA. PB NU sendiri lebih banyak bermain di level regulasi seperti judicial review UU Migas, tetapi tidak banyak mendorong pengurus untuk turun ke bawah.

Pola pengambilalihan perusahaan swasta seperti Palyja yang sedang dilakukan Jokowo-Ahok di DKI, mungkin tidak akan berarti banyak karena struktur negara di Indonesia yang masih predatoris, dimana negara lebih berposisi sebagai akumulator kapital yang menindas ketimbang distributor.

Kalau sukses di internal Nahdliyin, maka dalam konteks NKRI, tantangan berikutnya adalah menaikkan yang “parsial” ini menjadi sesuatu yang “universal”, persisnya menggalang aliansi dengan berbagai kelompok ideologi yang lain seperti nasionalis agar kelompok santri tidak bekerja sendiri dalam upayanya menerjemahkan ajaran-ajaran Gus Dur menegakkan kedaulatan di bidang tata kelola SDA.

Sebaliknya, bagi kelompok nasionalis, pengalaman kehilangan artikulasi pasca tahun 1998, dimana terjadi banyak privatisasi perusahaan negara justru di bawah Megawati Soekarnoputri, harus dijadikan pelajaran agar tidak terjebak kembali dalam permasalahan yang sama: ketidaksiapan ideologis dalam mengelola kekuasaan.

Akhirnya, menguatnya artikulasi ideologi nasionalis belakangan ini yang sebenarnya bagus, sekaligus mengundang kekhawatiran. Kemunculan pemimpin populis seperti Jokowi tidak akan membawa Indonesia kemana-mana tanpa disokong oleh konsolidasi ideologi dan pengorganisasian politik yang solid di belakangnya. Dan, setidaknya sampai sekarang, itulah yang terjadi.

-----------

Penulis  : Bosman Batubara
Sumber : gusdurian.net