IPNU Trenggalek - Beberapa waktu terakhir, dunia dihebohkan dengan beredarnya dokumen dari Edward Snowden (mantan kontraktor National Security Agency - NSA), tentang aktivitas penyadapan AS dan Australia terhadap pemimpin dan pejabat manca negara termasuk Indonesia. Edward Snowden mengungkap, di wilayah Asia Tenggara, berbagai alat penyadapan AS diduga terpasang di Kedutaan Besar di Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Phnom Penh dan Yangon.
Dalam konteks kedaulatan negara, tentunya sangat wajar jika seluruh kepala negara yang merasa dirugikan dengan praktek penyadapan itu kemudian bersikap tegas, memprotes, melakukan pengusiran duta besar dan melakukan tindakan yang memang seharusnya dilakukan. Sebab tindakan ini tidak hanya melanggar konvensi internasional, bahwa antarnegara dilarang melakukan pengintaian, mencari informasi secara ilegal, penyelidikan, penyadapan termasuk spionase, bahkan lebih jauh tindakan penyadapan ini adalah bagian dari “penjajahan”, tindakan yang tidak menghormati kemerdekaan dan kedaulatan bangsa lain.
Pemerintah Perancis, Jerman dan Brasil yang juga menjadi korban penyadapan telah bersikap keras, disamping telah memanggil Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) dari masing-masing perwakilan di negaranya, mereka juga sudah menelpon langsung Obama atas kekecewaannya karena AS selama ini melakukan hubungan yang tidak didasari dengan kepercayaan. Pemerintah China dan Malaysia pun sudah melayangkan protes keras, bahkan Jerman dan Brasil telah mengajukan secara resmi draf resolusi atas hak privasi untuk mencegah penyadapan ke PBB. Sikap yang layak untuk ditegaskan bukan? Lalu bagaimana dengan sikap Pemerintah Indonesia?
Di dalam negeri kita pun dihebohkan dan kecewa dengan beredarnya info dari Edward Snowden tersebut, tetapi kemudian kita dibuat “geregetan” dengan sikap pemerintah yang sangat tidak tegas, bahkan terkesan “lembek” bersikap terhadap praktek penyadapan itu. Mungkin rakyat di masing-masing negara yang terkena praktek penyadapan oleh AS dan Australia pun kecewa, tetapi rakyat Indonesia ternyata harus “kecewa kuadrat”, karena hal itu tidak diimbangi dengan sikap tegas pemerintahnya. Apa yang mendasari ketidaktegasan pemerintah kita? Apakah pemerintah kita tidak menyadari bahwa mereka adalah pemimpin dari negara yang merdeka dan berdaulat, dan memiliki hak untuk bersikap tegas ketika ada praktek dari Negara lain yang “merongrong” kedaulatan negeri ini? Lalu, seperti apa upaya pemerintah untuk meningkatkan teknologi pengamanan informasi agar tidak dapat d sadap di kemudian hari?
Dinamika di atas mendorong saya untuk sedikit memaparkan pengalaman empirik saya, betapa negeri ini memang belum berdaulat dalam hal teknologi informasi. Selain kasus penyadapan yang tidak terdeteksi oleh pengamanan dalam negeri seperti telah di singgung di atas, juga ada permasalahan lain yang memang tidak didukung dengan kebijakan secara maksimal, misalnya penguatan teknologi informasi (radar dan sinyal) di wilayah perbatasan negara. Mungkin hal ini terdengar biasa saja, tidak penting. Atau sudah menjadi isu lama tanpa tindaklanjut. Padahal, peningkatan teknologi ini menjadi sangat krusial dalam menjaga kedaulatan udara, laut dan daratan negeri ini.
Tahun lalu saya pernah singgah ke Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke lintas batas negara Indonesia-Malaysia melalui Entikong. Sangat miris, ketika mendekati gerbang batas, sinyal Simpati dan Indosat di HP saya SOS dan mendapat informasi bahwa saya telah terhubung dengan layanan provider di Malaysia (DiGi). Ada tiga SMS info dari DiGi yang saya terima terkait dengan hal itu. Pertama, “DiGi welcomes you to Malaysia, we wish you a pleasant stay! To make call, dial +<country code><areacode><phone no>”. Kedua, for more travel info, contact tourism Malaysia at 1300885050. To stay with DiGi for the hottest IDD&roam rates in town. Ketiga, “in the event of an emergency, please call the emergency number, 999”. Selain itu, juga ada dua SMS dari Indosat, pertama, “Anda di jaringan PROMO Digi Telecom. Pastikan SELALU di jaringan ini agar dpt menikmati roaming Data&BB Flat Unlimited Rp25rb/hari. Kedua, Anda di jaringan PROMO Digi Telecom. TELP/mnt ke Indonesia Rp15rb. Terima Telp Rp15rb, ke nomor local Rp 7500. Rp 7500/SMS, Data&BB Flat Unlimited Rp 25rb/hari.
Ketika itu saya tidak sadar, bahwa secara otomatis penggunaan jaringan di HP telah terhubung, karena lupa di setting secara manual. Setelah izin dengan petugas perbatasan saya masuk ke wilayah Malaysia, hanya untuk sekedar melihat-lihat, “pusing-pusing” istilah di sana. Karena saya menggunakan smart phone yang selalu terkoneksi dengan jaringan internet, hal ini tentunya merugikan sangat. Setelah menerima telepon dari seorang teman ketika di wilayah Malaysia hanya beberapa menit, pulsa saya habis seketika, padahal saat di Sanggau baru isi pulsa 100 ribu. Dan yang lebih menjengkelkan lagi adalah, sinyal Malaysia masih terhubung di HP saya ketika saya sudah kembali masuk di wilayah Indonesia, bahkan sampai melewati kantor Kecamatan Entikong yang cukup jauh dari gerbang batas. Sinyal radio Malaysia pun masih terdengar jernih di radio mobil sampai jarak yang lebih jauh lagi. Huft!!! (gaya ekspresi tulisan ABG jaman sekarang. Heheee)
Dalam perjalanan yang lain, ketika saya menyebrang dari Pelabuhan Sekupang, Batam menuju Tanjung Balai Karimun, Kepri, ditengah jalan pun saya mendapati informasi tentang jaringan provider yang terhubung. Ada dua sms pemberitahuan yang saya terima, pertama, “Anda di jaringan Starhub. Pastikan SELALU berada di jaringan ini agar dpt menikmati Data&BB unlimited RP.25rb/hari”. Kedua, “Anda di jaringan PROMO Starhub. TELP/mnt ke Indonesia Rp 15rb, Terima tlp Rp 15rb, ke nomor lokal Rp7500, Rp7500/SMS, Data dan BB flat unlimited Rp 25rb/Kb”.
Hal yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa ketika melintas menuju Tanjung Balai, dapat dipastikan bahwa kapal penyebrang melintas di wilayah laut Indonesia. Karena jalur penyebrangan antara Batam dan Karimun, tidak terputus dengan wilayah Negara lain. Masih ada pulau tebing, pulau terluar dari Kabupaten Karimun yang langsung menjorok ke perbatasan dengan Singapura. Artinya, dengan konsep archipelago state yang merujuk pada Deklarasi Djuanda tentang wilayah kedaulatan negara kepulauan, batas laut Indonesia masih jauh di luar jalur lintas antara Batam menuju Karimun. Tetapi faktanya, teknologi provider yang terhubung di Hp adalah milik Negara tetangga.
Dari dua kondisi di atas terkait dengan kekuatan sinyal provider di Indonesia, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan teknologi informasi di perbatasan. Jika dengan provider sendiri di ibukota saja dapat dilakukan upaya penyadapan oleh asing (AS dan Australia), bukan tidak mungkin hal itupun dapat dilakukan oleh provider Negara asing.
Dinamika penyadapan oleh asing dan lemahnya teknologi informasi kita di perbatasan mungkin tidak terkait secara langsung, tetapi jika kemudian hal ini dikait-kaitkan dengan dinamika persinggungan dengan negara tetangga (asing) terkait dengan konflik perbatasan, teknologi informasi mutlak harus dimaksimalkan oleh pemerintah. Tidak hanya untuk memberikan pelayanan informasi yang efektif dan efisien kepada rakyat, tetapi juga sekaligus menjaga dan mempertegas wilayah kedaulatan. Kasus penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan beberapa tahun lalu oleh tentara Diraja Malaysia karena dianggap telah memasuki wilayah laut Malaysia tanpa izin, bukan tidak mungkin permasalahan utamanya ada pada teknologi informasi yang menentukan baik buruknya sinyal radar di wilayah kelautan kita.
Ada statemen yang cukup menyedihkan dari seorang kepala desa di perbatasan, Bengkayang – Malaysia. “semua sudah datang ke sini, wilayah kami ini sudah didatangi oleh Bupati, Gubernur, Menteri-menteri, Pejabat Pertahanan dan Keamanan dari Jakarta, bahkan Presiden pun sudah datang berkunjung, tetapi kami tetap seperti ini. Tetap terpencil dan terisolir. Untuk mencapai jarak 20 KM harus ditempuh dengan 1 hari jalan kaki, karena tidak ada akses jalan untuk kendaraan. Menggunakan jalur sungai bisa lebih lama, karena terkadang air sungai sedikit, harus angkat perahu sampai di air sungai yang cukup dalam. Jaringan radio kami lebih jernih siaran radio dari Malaysia, juga televisi. Untuk telepon disini tidak ada sinyal Indonesia, yang kuat dari Malaysia”.
Lemahnya pengamanan teknologi informasi, sehingga kita bisa disadap dan tidak menyadarinya, serta lemahnya komitmen pemerintah terhadap wilayah perbatasan yang berdampak pada rongrongan kedaulatan oleh Negara tetangga, dapat sedikit menggambarkan tentang anomaly negeri ini, merdeka tetapi belum berdaulat. Sampai kapan hal ini akan terus berlanjut? Hari pahlawan 10 November 2013 semoga dapat menginspirasi siapapun terutama Jajaran Pemerintah terkait, yang memiliki akses dan sumberdaya untuk membangun dapat lebih mendorong prioritas menjaga kedaulatan negeri ini dari rongrongan asing. Sehingga kita dapat merasakan kemerdekaan yang berdaulat atas negeri ini.
Sumber : NU Online