Trend Nikah Dini, Berkah Atau Musibah?
Oleh : Uliyatun Ni’mah
Pernah suatu hari seorang teman datang kepada saya, bercerita dengan malu-malu. "Mbak, apa aku ini sudah pantas menikah? Masak iya 17 tahun udah gendong anak. Nanti kalau hamil rasanya gimana mbak ya? Kan aku masih kecil begini. Apa aku tolak perjodohannya saja mbak? Tapi habis lulus SMP kan aku ndak nerusin, mau ngapain lagi kalau ndak nikah?!" yang akhirnya cerita lebarnya hanya saya jawab dengan helaan nafas panjang ditambah seulas senyum plus tepukan halus di punggung kecilnya.
Ilustrasi yang serupa dengan kejadian tersebut diatas tentunya tidak akan selesai dengan jawaban seperti yang saya terapkan. Tidak tau kenapa, akhir-akhir ini begitu banyak remaja yang ngebet nikah pasca lulus SMA/SMP, bahkan masih ada juga yang baru lulus SD, meskipun sudah jarang. Pernikahan dini seperti itu sudah sangat lumrah terjadi di beberapa daerah, khususnya pedesaan. Ada ketakutan tersendiri bagi orangtua apabila anaknya tidak segera menikah. Berawal dari issue demikian, akhirnya saya menjadi biasa pula dengan pernyataan seolah-olah para gadis itu 'enggan' menikah. Tetapi, dalam hati kecil saya terus bertanya-tanya "Sampai kapan para Kartini muda itu menjadi penerus mindset kuno orangtua mereka?" atau memikirkan "Bagaimana caranya menghentikan, setidaknya mengurangi semua ini?"
Berbicara mengenai pernikahan, memang terdengar sangat membahagiakan. Bersatu padu dalam ikatan yang halal dan sah dengan segala paket keberkahannya. Istilahnya menggenapkan setengah dien(agama) melalui salah satu sunnah Rasulullah SAW. Mengutip isi Undang-Undang Tentang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada Bab 1 Pasal 1 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Berfokus pada pernikahan dini, didalam Undang-Undang tersebut telah dikemukakan batas minimal usia pengantin adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Sedangkan dalam buku Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) terdapat perbedaan yang menyatakan bahwa usia ideal menikah adalah pada umur 20 bagi perempuan dan umur 25 bagi laki-laki. Pendewasaan Usia Perkawinan merupakan bagian dari program Keluarga Berencana Nasional. Program PUP akan memberikan dampak terhadap peningkatan umur kawin pertama yang pada gilirannya akan menurunkan Total Fertility Rate (TFR) yaitu rata-rata jumlah anak yang dimiliki oleh wanita selama usia reproduksinya. (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi , 2010)
Lantas, bagaimana efek pernikahan dini?
Jika ditinjau dari segi adat dan sosial budaya, tentu saja pernikahan (baik dini maupun ideal) jauh lebih baik dari pada hanya sekedar pacaran ataupun kumpul kebo. Kalau sudah menikah, mau dibawa kemanapun halal kan? Toh, dalam agama Islam juga ada himbauan untuk menyegerakan menikah.
Dari segi umur, ini berhubungan dengan fisik, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pada umur 17 tahun, sebenarnya remaja sudah cukup dewasa, dalam artian sudah dapat bereproduksi dengan baik. Dan menurut orangtua, menikah dan memiliki anak di usia muda tentu menguntungkan. Bagaimana tidak, bisa saja nanti saat menggendong cucu, mereka masih segar bugar karena usianya memang masih muda. Menengok kembali UU Perkawinan yang diluncurkan pada tahun 1974 lalu, saat itu bagi pemerintah dan masyarakat remaja berumur 17 tahun sangatlah ideal untuk menikah. Tetapi kembali pada ungkapan bahwa kedewasaan bukanlah sesuatu yang dapat dinilai dari usia seseorang. Apalagi dengan perkembangan teknologi masa kini yang cenderung membuat remaja menjadi dewasa sebelum waktunya, sangat mengkhawatirkan. Masih ada kok, pasangan yang belum tahu cara mengetahui masa suburnya. Ada yang maunya nikah dulu, punya anak belakangan, tapi akhirnya kebobolan karena salah perkiraan masa subur. Begitupun pada penggunaan alat kontrasepsi, para pasangan muda tidak dapat menentukan alat yang cocok karena keterbatasan pengetahuan pra-nikah.
Dari segi ekonomi dan pendidikan, seharusnya remaja berumur antara 15-25 tahun masih berkesempatan belajar dan meniti karir agar nantinya mendapatkan ekonomi yang mumpuni, dan masih termasuk dalam usia produktif. Ada anggapan bahwa menikah dini bisa saja menghalangi atau bahkan memutus jenjang pendidikan dan karir seseorang. Pernyataan tersebut memang ada benarnya. Bisa bayangkan bagaimana pasangan lulusan SMP menjamin hidup keluarganya apabila tidak mendapat supplay dari orangtua mereka?
Sedangkan apabila dilihat dari aspek psikologis, remaja yang menikah pada usia dini cenderung belum bisa mengontrol emosi dengan baik, baik itu kepada pasangan, anak, maupun lingkungan sosial. Sikap remaja yang masih labil ini menyebabkan pasangan yang menikah dini memiliki resiko bercerai yang lebih tinggi. Berkaitan dengan perkawinan, maka pada periode ambang masa dewasa, individu dianggap telah siap menghadapi suatu perkawinan dan kegiatan-kegiatan pokok yang bersangkutan dengan kehidupan berkeluarga. Pada masa tersebut, seseorang diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami/isteri, orangtua dan pencari nafkah (Hurlock, 1993). Namun demikian, kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, boleh dibilang baru berhenti pada usia 19 tahun dan pada usia 20-24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa.
Fakta yang terjadi di lapangan, merujuk pada hasil data SDKI tahun 2007 menunjukkan median usia kawin pertama berada pada usia 19,8 tahun sementara hasil SDKI 2002-2003 menunjukkan angka 19,2 tahun. Angka ini mengindikasikan bahwa separuh dari pasangan usia subur di Indonesia menikah dibawah usia 20 tahun. Lebih lanjut data SDKI 2007 menunjukkan bahwa angka kehamilan dan kelahiran pada usia muda (< 20 tahun) masih sekitar 8,5%. Angka ini turun dibandingkan kondisi pada SDKI 2002-2003 yaitu 10,2%. (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi , 2010)
Nah loh? Kalau sudah begini, sebagai masyarakat, kita harus bagaimana?
Kita semua tahu, bahwa dunia remaja benar-benar menjadi fenomena yang patut diperbincangkan dengan serius. Mereka yang buru-buru menikah belum tentu karena kehendak mereka sendiri, karena seperti yang disebutkan diatas, orangtua seringkali ikut andil dengan menguber atau bahkan memaksa anaknya menikah melalui perjodohan. Sedangkan kita juga tidak bisa menghakimi mereka yang sedang menunda nikah, menunda kehamilan, maupun yang belum diamanahi jodoh dan keturunan oleh Allah SWT. Semua yang terjadi pada mereka tentu bukan tanpa alasan.
Terlepas dari apapun yang sudah terjadi, sebagai masyarakat kita perlu memberikan pengetahuan yang mendalam tentang pernikahan. Dampak baik buruknya pernikahan dini, demi terciptanya masyarakat yang peka terhadap segala kemungkinan yang timbul, termasuk kasus pelecehan seksual yang belakangan ini semakin merajalela. Mereka yang sudah terlanjur menikah dini bukanlah yang patut kita cibir ataupun cemooh. Sebaliknya, kita perlu mendampingi dan terus mensupport mereka demi terciptanya keluarga ideal yang harmonis. Pernikahan adalah suatu ikatan suci yang sudah seharusnya menjadi cita-cita setiap makhluk hidup, sebagai cara bereproduksi agar dapat melanjutkan keturunan serta merupakan langkah awal membentuk suatu keluarga dengan tujuan dan fungsi membentuk individu yang berkualitas serta kedepannya dapat berguna bagi bangsa, negara, dan agama.
Ketua PIK R SYIR@H
Lembaga Konseling Pelajar
PC IPPNU Trenggalek