Ketika menulis biografi Tolchah Mansoer, saya seakan menyusuri salah satu lorong waktu tahun 1950-an dimana Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) sedang manapaki masa-masa perintisan yang sulit. Kala itu beberapa pelajar dan mahasiswa NU, yang kemudian dinobatkan sebagai pendiri IPNU dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah. Tantangan itu bermula dari keputusan Kongres al-Islam pada 1949, yang menobatkan PII sebagai satu-satunya organisasi pelajar muslim. Namun, bagi kalangan pelajar nahdliyin, keikutsertaaan mereka ke dalam dua organisasi itu bukan tanpa masalah. Masalah ini terkait dengan kontestasi ideologi dan politik para “orang tua”nya yang berafiliasi di NU dan Masyumi.
Berdasarkan kenyataan itulah dalam suatu tulisan, Tolchah Mansoer bertestimoni:
...haruslah diinsjafi berdirinja organisasi Ikatan Peladjar Nahdlatul ‘Ulama’ bukan sekedar tumbuh dan ditumbuhkan begitu sadja, apalagi kalau diingat suasana dan waktu pertama kali organisasi ini dilahirkan di persada tanah air, sungguh waktu itu merupakan saat jang pahit, jang terdapat di dalamnja pertentangan dan perselisihan jang dirasakan tidak enak oleh masjarakat kita terutama masjarakat Islam.Tolchah dan kawannya memang sangat menggelisahkan kondisi itu. Kegelisahan inilah yang pada gilirannya menginspirasi para aktivis mahasiswa NU ini untuk mendirikan suatu organisasi yang bisa mencakup pelajar pesantren dan pelajar umum. Di sinilah cita-cita penggabungan dua komponen pelajar itu mulai terbangun di benak Tolchah Mansoer. Dalam kesaksian Ismail Makky, orang yang merepresentasikan dua dunia pelajar itu adalah Tolchah Mansoer. Pemikiran-pemikiran Tolchah muda kala itu juga merefleksikan pemikiran pesantren dan pendidikan umum. Penunjukkan Tolchah Sebagai Ketua Umum IPNU dilakukan lebih karena Tolchah merupakan tokoh pelajar yang mempunyai gagasan dan pemikiran untuk menggabungkan kaum santri dan pelajar umum.. Dalam konteks, Tolchah bukanlah satu-satunya pembentuk organisasi pelajar ini, namun peran dan pikirannya menjadi pijakan IPNU hingga kini.
Kelahiran organisasi pelajar NU ini seperti memulai babak baru sejarah organisasi tradisional ini. Kelahiran IPNU dan IPPNU menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika Nahdlatul Ulama. Karena perintisan organisasi ini terjadi pada saat NU sedang berkiprah sebagai partai politik, maka keberadaannya jelas tidak bisa dilepaskan dengan konstelasi perpolitikan kala itu. Namun, semangat pendirian organisasi bukanlah semangat politik. Banyak orang menganggap bahwa berdiri IPNU sebagai bagian dari konsolidasi politik partai. Namun hal ini segera diklarifikasi oleh Tolchah Mansoer. Tolchah menulis:
Mungkin orang menganggap kita ini berpolitik. Tetapi orang tidak tahu bagian apa dari Nahdlatul ’Ulama’ itu jang berpolitik. Dalam hal ini perlulah dimengerti hubungan IPNU adalah dengan Ma’arif (bagian pengadjaran) dan IPNU tidak akan berbitjara dalam hal politik. Itu urusan tanfidziyah Nahdlatul ‘Ulama’. Ja, IPNU adalah anak Nahdlatul ‘Ulama’. Jang harus diketahui: IPNU mempunjai hak atas dirinja sepenuh-penuhnja.
Bagi Tolchah meskipun IPNU menjadi onderbow NU, sebuah organisasi kemasyarakatan yang tengah berstatus sebagai partai politik, namun ia lahir bukan untuk kepentingan politik praktis. Tolchah memandang IPNU tetap memiliki otonominya sebagai organisasi pelajar. Memang tidak bisa dipungkiri, IPNU berdiri menjelang Pemilu 1955. Keberadaannya merupakan bagian dari keluarga Partai Nahdlatul Ulama'. Di sinilah tantangan Tolchah Mansoer untuk mampu memposisikan IPNU sebagai organisasi penyatuan sekaligus pengkaderan pelajar NU tanpa harus terintervensi oleh kegiatan-kegiatan politik. Tidak mudah untuk mengembangkan organisasi kader yang non politik di saat organisasi induknya menjadi partai politik.
Untuk menegaskan bahwa IPNU adalah organisasi kader maka PP IPNU memfokuskan diri pada proses kaderisasi untuk meningkatkan kualitas kader. Hal ini karena IPNU didirikan karena ada kebutuhan kaderisasi. Baik sebagai partai politik maupun sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan, NU dituntut untuk mendiversifikasi kader-kadernya. Berdasarkan kebutuhan itulah, IPNU lahir dengan misi penyatuan dua komponen pelajar sebagaimana digelisahkan oleh Tolchah Mansoer tersebut. Menurut Asnawi Latif, IPNU ingin meraih kembali para santri yang dimarjinalkan dalam pergaulan sosial oleh organisasi-organisasi pelajar kala itu, salah satunya PII. Memang, Tolchah adalah orang yang berada di garda depan dalam cita-cita penyatuan ini. Namun, bagi Tolchah, tujuan berdirinya IPNU lebih dari sekadar pemenuhan harapan itu. Menurut Tolchah:
... berdirinja organisasi Ikatan Peladjar Nahdlatul ‘Ulama’ tidak hanja sekedar mengumpulkan kawan baik dari pesantren, dari sekolah2 menengah Nahdlatul ’Ulama’ dan umum ataupun dari universitet2. Bukan hanja itu. Ada dasar jang bersifat ideologisch jang menjebabkan dia tumbuh. Dia mempunjai sebab dan memiliki principe idoelogisch jang memerlukan ideologiese dranger jang melaksanakannja walau bagaimana djuga zaman dan orang berkata tentangnja.
Dalam sejarah Nahdlatul Ulama, berdirinya IPNU jelas merupakan momentum penting bagi perkembangan organisasi terbesar di Indonesia ini. Sejak menyatakan dirinya sebagai partai politik pada tahun 1952 NU tidak memiliki kader potensial kecuali para santri di pesantren-pesantren dan madrasah. Dengan kata lain, di saat NU tengah menempati posisi menantang, justru belum memiliki perangkat kaderisasi yang dapat menjamin keberlanjutan organisasi. Oleh karena itulah selama dua tahun pertama, praktis program IPNU belum diarahkan keluar. Pimpinan Pusat IPNU mengkonsentrasikan programnya untuk konsolidasi dan penguatan kelembagaan internal serta membangun kesadaran ideologis kader. Hal itu tergambar dalam pengakuan Tolchah berikut:
Ja, memang dalam sa’at dua tahun ini IPNU tidak banjak melangkahkan kakinja keluar, so’alnya konsolidasi ke dalam. Dalam segala arti dan sifatnja. Dan terutama pada meletakkan dasar2 jang bersifat ideologisch ini. Sebab, jang diinginkan (djuga mendjadi tugas) oleh Pimpinan Pusat, ataupun oleh Pimpinan2 Wilayah dan Pimpinan Tjabang dan selandjutnja tertanamnja kesadaran jang sebenarnja tentang berorganisasi dan berideologie. Dan selandjutnja atas basis kekokohkuatan ini mentjoraki masjarakat dan memberikan sumbangan jang berarti kepada masjarakat.
Dengan peran tersebut IPNU telah menegaskan diri sebagai organisasi kader. Peran khas inilah yang pada masa-masa selanjutnya dijadikan pijakan strategis untuk membangun strategi dan pola gerakan. Dalam titik inilah peranan IPNU menjadi sangat strategis dalam upaya membangun “perkawinan intelektual” melalui integrasi khasanah keilmuan yang dinisbatkan dengan ilmu-ilmu ukhrowi dan duniawi. Sumber daya pelajar dan santri memiliki potensi untuk menggabungkan tradisi keduanya secara matang. Pergulatan di atas menempatkan Tolchah Mansoer sebagai figur sentral yang sangat menentukan dalam pembentukan gerakan pelajar. Aktivitasnya dalam organisasi sejak kecil membuat Tolchah sangat matang dalam dunia gerakan muda dan gerakan sosial selanjutnya. Di mata Tolchah, organisasi adalah wahana untuk membengun kemaslahatan publik. Organisasi memberi bekal kepada para anggota berupa ketrampilan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, serta mendidik dan menyadarkan masyarakat tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara. IPNU didirkan dengan cita-cita mulia, yaitu berdedikasi kepada masyarakat. Penegasan ini dikemukakan Tolchah sebagai berikut:
Saja masih djelas teringat akan masa2 awal IPNU ini didirikan bersama2 dengan para sponsors, pendiri2 organisasi kita ini. waktu itu bekal kami tidak lebih dari tawakkal dan kejakinan teguh, bahwa pada suatu saat organisasi kita akan mentjapai kedjajaanja, berdiri setaraf dengan organisasi2 lain dalam menjumbangkan karyanja kepada masjarakat.
Tapi bukanlah kedjajaan dan keagungan organisasi itu jang mendjadi tjita-tjita utama, bukan dimaksudkan organisasi itu menjadi unggul segala-galanja, tapi bagaimana organisasi itu bisa memberikan sumbangan kepada masjarakat dalam segala bidangnja, bidang materiil dan lebih2 spirituil. Tudjuan organisasi masih jauh; apa jang nampak di depan mata kita ini hanja sekelumit jang tidak banjak artinja.
Untuk tercapainya izzul Islam wal muslimin dan masjarakat adil dan makmur jang diridhoi Allah tidak akan djatuh begitu sadja dari langit. Masih diperlukan karya2 jang luar biasa. Tugas-2 masih membentang di hadapan kita. Dan bukan orang lain jang akan mengerdjakannja, melainkan kita sendiri angkatan muda jang penuh spirit, energy dan idee2 jang dinamis ini”
Tolchah terus berupaya memotivasi dan menggerakkan kader organisasi agar dapat berkarya, yang berarti berkhidmat dalam masyarakat. Tolchah juga dengan tegas menginginkan kader IPNU ”membumi” dan tidak tercerabut dari masyarakat. Kader IPNU harus terjun dan berkecimpung melakukan kerja-kerja nyata dalam masyarakat. Dalam hal ini Tolchah menegaskan:
Sifat jang karakteristiek ada pada IPNU ini pada hakekatnja untuk tidak mendjadikan IPNU ini merasa golongan elite, merasa mempunjai harga diri jang besar dan penuh dengan ketjongkakan oleh karena dirinja termasuk golongan terpeladjar. Tidak, sifat dan pengetahuan serta djiwa ke-kyahi-an dan ke-santeri-an harus tetap ada. Kita djangan membuat diri kita terpisah dari masjarakat. Dan harus kembali kepada masjarakat serta berketjimpung di dalamnja. Untuk itu sekalipun nampak perbedaan jang djauh ketjakapan otak kita dari masjarakat, adalah tidak bidjaksana kalau kita menganggap kita ini golongan bangsawan fikir. Tidak, kita berpengetahuan adalah untuk mendjadikannja pedoman bagi kita dan atas dasar itu kita memimpin masjarakat kelak. Dan, oleh karenanja kita harus tidak sadja dekat dan tidak mendjauhi masjarakat, tetapi, sekali lagi, terdjun berketjimpung ke dalam dan di dalam masjarakat.
Pendirian ini tampaknya dipegang kuat dan terus dikampanyekan oleh Tolchah. Dalam pidato resminya sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU pada Muktamar IV di Yogyakarta, ia kembali kenegaskan:
Tjita2 daripada Ikatan Peladjar Nahdlatul ’Ulama’ jalah membentuk manusia jang berilmu, tetapi bukan manusia calon kasta elite di dalam masjarakat. Tidak. Kita menginginkan masjarakat jang berilmu. Tetapi jang dekat dengan masjarakat. Oknum jang berbuat karena ilmunya. Dan berilmu tetapi jang mau berbuat dan beramal. Sungguh akan merupakan malapetaka jang amat besar baik negara dipimpin oleh orang-orang jang tidak berilmu. Kita tidak menjandarkan semata-mata kepada kariere, lebih2 kariere dengan kekosongan ilmu dan bekal dalam kepala.
Penegasan Tolchah tersebut dirasa sangat penting bagi peneguhan komitmen organisasi sebagai bagian dari masyarakat sipil yang lahir dan berkembang dari basis sosial tradisional. Pernyataan tersebut seperti menjadi ”platform” bahwa IPNU lahir untuk masyarakat, bukan untuk orgaisasi itu sendiri, terlebih untuk kepentingan para elitenya. Bagi Tolchah, pendirian tersebut juga tertanam dalam-dalam yang menjadi ”karakter” pribadi pada perjalanan selanjutnya. Tolchah memang prototype organisatoris intelektual yang sukses dalam dunia akademik dan organisasi. Dengan kelebihannya dalam penguasaan keilmuan umum dan agama menjadikan Tolchah bak “generasi ideal” sebagaimana yang dicita-citakan IPNU sejak berdirinya. Bagi para penerusnya, Tolchah merupakan inspirator bagi munculnya para intelektual di lingkungan NU.
Membaca fakta sejarah tersebut, setidaknya ada beberapa hal penting yang perlu dicatat tentang pendirian IPNU. Pertama, secara ideologis IPNU lahir sebagai respons atas pertarungan ideologi. Para pendiri sadar betul akan perlunya wadah pelajar dari kalangan Islam tradisional yang berpaham ahlussunnah wal jamaah. Kedua, secara politis, meskipun NU kala itu sedang berstatus sebagai partai, namun IPNU lahir bukan untuk kepentingan politik Partai NU, sehingga perilaku organisasi dan para kadernya tidak politis. Ketiga, secara kelembagaan IPNU lahir sebagai wadah kaderisasi pelajar NU, Sehingga seluruh sumberdaya dikerahkan untuk kerja kaderisasi. Keempat, secara intelektual, IPNU lahir untuk menyatukan dua potensi generasi terpelajar, yaitu santri maupun pelajar umum. Dengan demikian, IPNU merupakan gerakan keilmuan. Dan kelima, IPNU lahir bukan untuk bertengger di menara gading yang elitis, melainkan membumi di tengah-tengah masyarakat dan terlibat dalam membangun kemaslahatan publik. Nah, berangkat dari idealisme itulah saya ingin mengajak kita semua merefleksikan IPNU pada masa kini.
Saat masih menjadi pengurus Pimpinan Ranting hingga Pimpinan Anak Cabang, saya merasakan idealisme itu masih kuat. Barangkali ini merupakan kondisi umum yang dialami rekan-rekan kita di level bawah. Pengalaman saya menunjukkan bahwa ber-IPNU berarti berikatan yang disatukan oleh semangat ideologis yang kuat. Inilah mengapa hubungan sosial dan solidaritasnya sangat tinggi, sehingga membentuk komunitas yang solid dan “fanatik" dengan ikatan peguyuban yang kuat.
Pada saat itu, ber-IPNU juga bukan berpolitik. Mereka menjalani masa-masa IPNU secara tulus tanpa interes politik apapun, apalagi berambisi untuk menduduki jabatan politik tertentu. IPNU juga benar-benar tampil sebagai organisasi kader yang konsen pada kerja-kerja kaderisasi, dengan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan kader. Kala itu IPNU yang saya rasakan juga merupakan “pertemuan” antara para santri dengan para pelajar umum. Mereka menyatu tidak saja secara fisik, melainkan berkolaborasi secara intelektual sehingga menjadi komunitas pembelajar yang asyik. Saat itu, IPNU juga bukan kelompok orang-orang pinter yang elitis. Mereka justru menjadi bagian aktif dalam masyarakat perdesaan untuk terlibat dalam pergumulan sosial.
Setelah beranjak ke level berikutnya, cabang dan wilayah, idealisme itu masih tertanam di IPNU, meskipun harus diakui terjadi pergeseran. Kala itu terjadi tarik menarik antara idealisme dengan “tantangan zaman”. Nah, begitu sampai Pimpinan Pusat, pergeseran itu semakin sempurna, bahkan, mohon maaf ini harus saya katakan, idealisme itu kini telah hilang di telan buruknya zaman. Setidaknya itulah yang bisa kita lihat saat ini. Jika diukur dengan idealisme awal organisasi ini didirikan, ada beberapa pergeseran yang harus kita refleksikan. Pertama, jika dulu IPNU lahir di tengah pertarungan ideologi dan dengan demikian menjadi gerakan ideologi ahlussunnah wal jamaah, kini kita tak merasakan nafas itu. IPNU seakan tak lebih sebagai pergumulan yang hampa,
Kedua, dulu IPNU lahir bukan untuk kepentingan politik, meskipun NU sedang berposisi sebagai partai politik. Namun kini, di saat NU kembali ke khittah sebagai organisasi sosial keagamaan (jamiyyah diniyyah ijtimaiyyah), IPNU justru kerap berperan politis. Fakta ini bisa kita lihat dalam dua hal. Dalam berbagai perhelatan politik, baik di tingkat nasional maupun lokal, IPNU sering ditampilkan sebagai “mainan” politik. Lihat saja, setiap ada Pilpres atau Pilkada, IPNU hampir selalu tapil sebagai kekuatan politik, setidaknya oleh kalangan elitenya. Watak politik itu juga tampak dalam perhelatan internal, terutama Kongres dan konferensi. Perebutan jabatan Ketua Umum atau Ketua lebih banyak didominasi oleh pertarungan politik. Banyaknya “pihak luar” dan “bandar” yang bermain kerap mendistorsi perhelatan pelajar itu. Inilah yang kemudian membuat perilaku organisasi dan para kadernya semakin politis.
Ketiga, jika dulu IPNU lahir sebagai wadah kaderisasi pelajar NU, kini gerakan kaderisasi itu tidak lagi tampak, sehingga IPNU kehilangan jatidirinya sebagai organisasi kader. Sebagai organisasi yang diberi mandat untuk menjadi garda depan kaderisasi, IPNU lebih rajin tampil keluar mengejar blow-up media dengan kegiatan-kegiatan yang wah, tapi jauh jari hakikat kaderisasi. Di samping karena tertutup oleh agenda lain yang lebih bernilai politis, terpuruknya kerja kaderisasi lebih disebabkan karena rendahnya political will pemimpinnya. Defisit visi kaderisasi inilah yang menyebabkan melemahnya semangat dan kegiatan-kegiatan kaderisasi IPNU di seluruh Indonesia.
Keempat, dulu IPNU dilahirkan untuk menyatukan dua potensi generasi terpelajar, yaitu santri maupun pelajar umum, Dengan demikian IPNU tampil sebagai gerakan intelektual pada dua ranah keilmuan, yaitu keilmuan agama dan keilmuan umum. Kini, spirit gerakan intelektual itu semakin menjauh dari IPNU. Dulu, kita menyaksikan forum-forum ilmiah dan karya-karya intelektual yang lahir dari IPNU. Sedangkan kini, IPNU sepi dari berbagai dinamika intelektual itu. IPNU lebih suka tampil sebagai gerakan politik atau kalau hanya menjadi ajang kongkow-kongkow yang tak bermakna strategis. Fenomena ini sekarang benar-benar semakin nyata.
Kelima, Pak Tolchah dkk mendirikan IPNU bukan untuk bertengger di menara gading dan menjadikan para pengurus dan kadernya sebagai “manusia calon kasta elite”. IPNU dilahirkan untuk membumi dalam masyarakat, menjadi bagian dari dan mendampingi masyarakat bawah, serta terlibat dalam berbagai penyelesaian masalah untuk membangun kemasalahan publik. Kini, IPNU tampil persis seperti yang dikhawatirkan oleh Pak Tolchah, yaitu menjadi ”kasta-kasta elite”, jauh dari masyarakat dan tidak terlibat dalam pergumulan sosial dan penyelesaian berbagai persoalan nyata yang dihadapi masyarakat. Bahkan perilaku para pengurusnya lebih suka tampil sebagai kelas-kelas elite yang jauh dari masyarakat alit, namun gila citra. Ketiadaan kerja advokasi dan pendampingan masyarakat –setidaknya masyarakat pelajar- oleh IPNU pada beberapa dekade terakhir menunjukkan realitas ini.
Kini, 60 tahun sudah IPNU berkhidmad untuk Indonesia.
*Caswiyono Rusydie Cw. (Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, eks Ketua PP IPNU (mundur tahun 2011, karena perbedaan visi)Penulis buku “Tolchah Mansoer: Profesor NU yang Terlupakan”)
*Caswiyono Rusydie Cw. (Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, eks Ketua PP IPNU (mundur tahun 2011, karena perbedaan visi)Penulis buku “Tolchah Mansoer: Profesor NU yang Terlupakan”)