Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel Melacak Jejak-jejak Demokrasi Dalam Islam Bag. 2
Hilangnya Sikap Demokratis dari Masyarakat Islam.
Kebebasan dan sikap demokratis mulai hilang dalam Islam seiring dengan berakhirnya kekuasaan khalifah keempat, Ali bin Abi Talib.
Setelah Ali terbunuh, pengikutnya membai’at anaknya Al Hasan bin Ali sebagai khalifah. Al Hasan bukanlah seorang kuat disamping ia selalu menghindar dari konfrontasi politik. Dengan alasan demi persatuan ummat Islam, maka ia menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, lawan politik Ali yang juga keluarga dekat Utsman.
Ketika Muawiyah berkuasa inilah kebebasan dan sikap demokratis yang diajarkan Nabi Muhammad (Saw.) mulai terpasung. Dengan menggunakan jargon-jargon agama yang totalistik (al jabariyah) dan ketajaman pedang, Muawiyah berusaha memperoleh legitimasi kekuasaan dari rakyat dan mempertahankannya. Muawiyah selalu mengatakan bahwa kekuasaannya merupakan kehendak Tuhan, karena itu tak ada seorang pun yang boleh mengambilnya.
Pada masa Muawiyah pula terjadi pewarisan kekuasaan pertama dalam sejarah Islam. Muawiyah telah mengubah sistem pemerintahan Islam dari demokrasi (pemerintahan yang dikelola bersama-sama dengan sistem syuro/musyawarah) menjadi monarkhi. Kekuasaan Muawiyah ini dikenal dengan “Dinasti Bani Umaiyah”, dan ia memindahkan ibukota Islam dari Kufah di Irak ke Damaskus, Syiria.
Pada masa Muawiyah dan keturunannya penindasan kejam terhadap kelompok oposisi dimulai, khususnya terhadap para pendukung keluarga Ali. Tindakan represif Bani Umaiyah ini belum pernah terjadi dalam sejarah Islam sebelumnya.
Ketika Dinasti Umaiyah runtuh dan digantikan dengan Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, balas dendam politik terhadap para pembantai keluarga Ali tak terelakkan. Begitulah seterusnya, setiap penguasa muslim menggunakan agama untuk mengekalkan kekuasaannya dan membuang jauh-jauh kehendak rakyat. Dan hampir setiap pergantian kekuasaan selalu disertai pertumpahan darah.
Penguasa Mamalik di Mesir bahkan menggunakan militer untuk memisahkan kekuasaan dengan rakyat, sehingga rakyat tidak dapat berhubungan langsung dengan penguasa. Politik Mamalik ini mirip dengan apa yang dilakukan Orde baru di Indonesia, menggunakan militer untuk melindungi kekuasaan dan menyekat kekuasaan dari rakyat. Begitu pula pada jaman Ottoman, institusi khilafah yang agung dan demokratis hanya berupa nama. Para khalifah Ottoman merupakan raja-raja yang tidak memperoleh legitimasi kekuasaan dari rakyat.
Semenjak jaman Muawiyah ummat Islam tidak pernah menikmati kebebasan dan demokrasi dalam kehidupan nyata. Kebebasan dan demokrasi hanya ada dalam teks-teks suci. Para penguasa muslim yang despotis berkuasa tanpa legitimasi rakyat dan selalu memerangi kehendak mereka.
Dalam suasana despotis dan penuh ketakutan semacam ini maka teori-teori politik tidak pernah berkembang baik dalam Islam, akibat kondisi yang tidak mendukung. Oleh sebab itu kita tidak banyak menjumpai literatur Islam yang membahas tentang politik dan tata negara (fikih as siyasah), dibanding dengan buku-buku yang berbicara tentang ibadat (fikih al ibadah), konsep pembersihan hati (tasawuf), ilmu tauhid (ilmu kalam).
Sebab-Sebab Hilangnya Demokrasi dari Masyarakat Islam.
Ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab hilangnya kebebasan dan demokrasi dari masyarakat Islam.
Faktor pertama adalah kekejaman para penguasa muslim pada masa lalu. Sikap despotis ini telah membentuk sebuah masyarakat yang miskin tata negara. Karena para ilmuwan muslim tidak banyak menulis perihal sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan ideal, akibat kerasnya tekanan penguasa.
Faktor kedua adalah hilangnya sistem konstitusi sebagai tempat berpijak bagi kehidupan bernegara. Tradisi membangun konstitusi sebenarnya telah diajarkan oleh Nabi Muhammad (Saw.) tatkala membangun negara Madinah. Konstitusi negara Madinah bernama “Piagam Madinah” (Watsiqah Al Madinah) hingga kini masih dapat dijumpai dalam literatur Islam. Namun entah mengapa tradisi berkonstitusi pada praktek kenegaraan kaum muslimin selanjutnya hilang. Hilangnya tradisi konstitusi ini berdampak pada hilangnya demokrasi dan timbulnya pertumpahan darah yang runyam pada setiap kali peralihan kekuasaan.
Faktor ketiga adalah pengekangan kebebasan yang merupakan pilar utama demokrasi. Setiap penguasa Islam pada masa lalu (hingga saat ini) memilih mazhab atau aliran agama tertentu sebagai aliran resmi negara dengan menyingkirkan aliran-aliran lain. Sebagaimana pada beberapa kurun Dinasti Abbasiyah yang bermazhab Mu’tazilah (rasionalis). Pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir bermazhab Syi’ah. Begitu pula dengan kondisi negara-negara Islam moderen, seperti Kerajaan Arab Saudi dan Iran.
Pengekangan kebebasan ini pada satu sisi untuk memperoleh dukungan dan legimitasi dalam rangka memperkuat kekuasaan. Namun di sisi lain, keberpihakan ini merupakan pemberangusan kebebasan yang merupakan dasar demokrasi. Penerimaan ataupun penolakan sebuah aliran keagamaan dalam tradisi asli Islam bukanlah dengan menggunakan kekuasaan dan politik, melainkan melalui tradisi keilmuan dalam bentuk dialog, debat, dan retorika dengan dalil-dalil ilmiah yang meyakinkan.
Faktor terakhir adalah sikap beragama yang menyimpang di kalangan kaum muslimin. Sikap beragama yang menyimpang ini pada akhirnya menimbulkan ekstrimitas; ekstrim dalam berinteraksi dengan keduniaan dan esktrim tidak peduli dengan urusan keduniaan.
Sikap ekstrem pertama menumbuhkan despotisme jika berkuasa, dan sikap ekstrem kedua tidak peduli dunia. Kedua sikap ini kontraproduktif, karena Nabi Muhammad (Saw.) mengajarkan keseimbangan hidup antara urusan dunia dan akhirat. (FK).
-----------------------------------
Oleh : Farhan Kurniawan (Mahasiswa fakultas Ushuluddin Universitas Al AzharKairo)
Sumber : bongkarhti.blogdetik.com